Part 34

3 0 0
                                    

Pagi buta kami sudah menuju arah timur Sumba, jika beruntung bisa menyaksikan matahari terbit di Tanarara. Perjalanan selama 3 jam lebih kuhabiskan untuk tidur, menghemat energi untuk hari ini.

Anton menepuk pundak untuk membangunkanku. Ketika mataku terbuka, mentari mulai muncul dan menyingsingkan cahayanya. Aku dimanjakan dengan pemandangan menakjubkan. Panorama hamparan hijau savana saling beradu menjadi suatu kesatuan yang indah.

Konon, bukit-bukit dataran tinggi tersebut awalnya adalah berupa batu-batu karang. Sebelum akhirnya ditumbuhi rerumputan hijau yang menawan. Jika datang musim kemarau maka warnanya akan berubah kecoklatan.

Akses jalan menuju lokasi bukit Tanarara terbilang cukup sulit karena relatif sempit, tidak ada petunjuk jalan, dan jauh dari pusat keramaian meski sudah mulus teraspal.

Kami tiba di spot terbaik untuk melihat matahari terbit, semburat cahayanya membuat hamparan permadani yang semula hijau menjadi keemasan.

Kali ini lebih banyak pengambilan gambar jarak jauh oleh drone yang diterbangkan dengan kecepatan rendah. Dengan sudut pandang dari ketinggian menambah kesan sinematik bukit-bukit savana ini.

Aku memilih menikmati pemandangan ini di titik tertinggi bukit Hiliwaku sambil menghisap sebatang rokok. Ya, aku mulai merokok lagi setelah Neira pergi. Sedikit membuatku lebih tenang, menemani di waktu luang saat sendiri.

"Bisa minta satu?"

Aku mendongak, ternyata Andrea. Kemudian dia duduk disebelahku dan mengambil sebatang lalu meletakkan di bibirnya. Kunyalakan korek dan mengarahkan pada ujung rokok yang sudah siap dihisap hingga mengeluarkan bara.

"Kudengar kamu sedang mencari seseorang?" Andrea memang belum mengetahuinya karena dia terhitung baru dalam tim kami.

Aku mengangguk dan menghisap rokok lebih dalam.

"Keluarga? Pacar?"

"Bukan, kurasa lebih dari itu"

"Kurasa?"

"Ya, seseorang yang kehadirannya menjadi pusat kehidupanmu. Dan disaat dia tidak ada kau akan limbung bahkan ketika dunia berada di tanganmu."

"Rasanya pasti lebih dari sekedar cinta, she's so lucky. Belum ada laki-laki yang memperjuangkan  aku sampai seperti itu."

"Suatu saat nanti pasti akan ada."

"I hope so. Kurasa kamu laki-laki yang baik, Faaz."

"No, Dre. Gua brengsek. That's why gua kehilangan dia." 

"Apakah dia perempuan yang beberapa bulan lalu ada di berita kamu yang viral itu? Perempuan cantik yang kulitnya putih bercahaya dan berhijab itu?"

Aku mengangguk.

"Hmmm, dia layak untuk diperjuangkan. Tapi indonesia kan luas banget, gimana cara kamu menemukannya?"

"Ibu gua bilang kalau jodoh pasti ketemu. Misal sampe Papua belum ketemu juga, gua bakal minta bantuan media. Kalau belum nemu juga, gua masih punya banyak waktu buat nunggu dia."

"Well, good luck for you. Kamu mau?" Andrea menawariku minuman yang dibungkus sederhana dengan plastik bening dan diikat tali di bagian tengahnya, dengan sedotan mencuat keluar dari plastiknya.

Kubuang puntung rokok yang sudah habis setengahnya lalu menginjaknya untuk mematikan bara yang masih tersisa. Kuambil plastik itu dari tangan Andrea. "Thanks."

Cuaca mulai panas, tenggorokanku terasa kering. Tidak ada satupun penjual disini, bahkan untuk buang air saja kurasa kita harus menggali tanah disana karena tidak ada toilet.

Aku hisap minuman dalam plastik itu. Airnya mulai masuk menjalar didalam mulutku dan ujung indera perasaku sangat mengenal minuman ini. Teh manis yang berwarna orange dengan rasa kental di lidah dan wangi yang khas.

"Dre, teh ini darimana?" tanyaku penasaran.

"Dari fans, oh iya tadi orangnya cari kamu juga?" jawab Andrea datar.

Harus Ku MilikiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang