Part 20

8 2 0
                                    


Kami menuju sebuah Café, letaknya tidak jauh dari hotel. Salah satu cafe yang menyediakan menu halal di kota ini.

Saat mengikuti pelayan yang memandu kami ke meja, seseorang menarik tanganku. Dengan sigap Faaz menangkap tangan nakal itu, ternyata Yoga.

"Mau apa lo?" Faaz berkata dengan nada tinggi.

Yoga mencoba melepaskan tangannya dari Faaz dan bangun dari tempat duduknya menghampiri Faaz.

"Kalau lu yang cuma temen aja bisa ngajak dia ngamar, gua lebih berhak ngapa-ngapain dia." Yoga meracau sambil menunjuk hidung Faaz dengan jarinya.

Faaz meninju rahang Yoga sangat keras hingga terjengkal menabrak kursi dan terjatuh ke lantai. Teman-teman Yoga sudah bangkit hendak menyerang Faaz.

"Man, phiangpho!" seruku pada teman-teman Yoga. "Cukup Faaz, ayo pergi dari sini" Aku mencoba menghalangi Faaz saat dia akan menghajar lagi dan mengajaknya keluar dari café.

"Jangan pernah berani sentuh Neira lagi!" Teriak Faaz kepada Yoga lalu meninggalkan semua kekacauan yang terjadi.

Warga Laos memang memiliki budaya minum alkohol, maka tidak aneh jika menemukan orang mabuk walau di siang hari.

"Faaz, dia lagi mabuk. Harusnya kamu nggak ..."

"Tadi itu pelecehan Nei. Kamu mau aku diem aja lihat kamu diperlakukan kaya gitu?" Faaz menghentikan langkahnya dan menghadapku. Emosinya belum sirna, baru kali ini aku melihatnya marah seperti ini.

"Iya Faaz, tapi bukan begitu caranya."

"Aah udahlah." Faaz membalikkan badan dan mengambil langkah panjang dan tergesa.

Aku mengikutinya di belakang dengan setengah berlari, sengaja kubiarkan dia berkecamuk dengan amarahnya sendiri.

Aku tahu yang Faaz lakukan tidak sepenuhnya salah, dia melindungiku dan aku sangat hargai itu. Tapi aku berpikir kedepannya, setiap hari aku masih akan berinteraksi dengan Yoga, sebentar lagi, aku tidak mau mencari masalah setidaknya sampai aku akhirnya bisa pergi dari sini.

Ternyata Faaz kembali kekamarnya dan mulai berkemas, jadwal penerbangannya memang lima jam lagi. Aku membantunya, tanpa ada sedikitpun percakapan diantara kami.

Makanan pesananku sudah datang sedari tadi, namun Faaz tidak menyentuhnya.

"Aku mau mandi dulu." Tetap tak ada jawaban. Aku tinggalkan dia ke toilet, cukup lama untuk memberi dia waktu untuk menghabiskan hidangannya. Aku tahu dia sebenarnya kelaparan hanya saja gengsinya lebih besar.

Masalah hanya akan bertambah besar jika dibahas saat perut lapar. Itulah mengapa kubiarkan Faaz dalam diam.

"Nei, kamu gak pingsan kan?" suara Faaz akhirnya terdengar, kurasa perutnya sekarang sudah terisi penuh.

"Ngga, baru beres." Aku membuka pintu. Kulihat piring sudah kosong tak bersisa. Sesuai dugaanku. Kuhampiri Faaz.

"Udah makan?" tanyaku seolah tidak tahu.

"Udah"

"Makasih ya, buat semuanya. Tangan kamu sakit nggak?" Aku meraih dan mengelus punggung tangan kanan Faaz yang digunakannya untuk menonjok Yoga.

"Nggak, lebih sakit ini. " Faaz menunjuk dadanya.

"Dia mabuk, jangan hiraukan. Dia nggak pernah kaya gitu."

"Dia suka sama kamu?" tanya Faaz

"Kayanya ngga, aku sama Yoga hanya sebatas sepupu dan rekan kerja, nggak lebih."

"Kalau dia suka sama kamu gimana?"

"Ya biar saja, itu hak dia." Sungguh aku tidak peduli dengan perasaan orang lain kepadaku, kecuali perasaan pria yang saat ini ada dihadapanku.

"Kamunya gimana?"

"Akunya lagi nunggu seseorang memproses sertifikasi halal." Jawabku asal-asalan.

"Beneran mau dihalalin?" tanya Faaz serius, kurasa dia mengerti maksudku.

"Ya mau lah, tapi aku mau kuliah dulu sambil memantaskan diri biar sepadan dengannya."

Faaz tersenyum mendengar ocehanku lalu menggengam kedua tanganku "kita memantaskan diri bersama ya."

"Buat aku ini pe-er banget sih, mana standarnya tinggi. Orangnya baik, pekerja keras, perhatian, bertanggung jawab, cuma agak-agak berjiwa premanisme ternyata." ujarku kembali merajuk.

"Lagipula, pria mana yang akan diam saja menyaksikan orang yang disayangi diusik didepan mata." Faaz membela diri.

"Memangnya sesayang apa?" 

Faaz membalikan telapak tangan kiriku dan menggambar lambang infinity '∞' dengan jarinya. Aku mengartikannya bahwa rasa sayangnya tak terhingga untukku. Memang tidak perlu banyak kata untuk menyampaikan perasaan karena akan terasa menjadi gombalan receh dan aku tidak suka itu.

Sebetulnya dari tindakannya pun aku bisa menilainya, namun sesekali aku juga ingin mendengar langsung kepastian tanpa harus memprediksi ekspresi yang disampaikannya, yang pada akhirnya hanya akan membuatku menjadi gila sendiri.  







Harus Ku MilikiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang