Part 37

4 0 0
                                        

Seorang murid maju ke depan kelas untuk mengisi pertanyaan di papan tulis dan membuat Neira mengalihkan pandangan keluar kelas dan saat itulah mata kami bertaut lagi setelah sekian lama.

Dia mulai menyadari kehadiranku, sesekali memejamkan matanya untuk memastikan yang dilihatnya bukanlah fatamorgana, lalu pandangannya kembali tertuju padaku. Mulutnya ternganga seakan yang dilihatnya adalah sebuah keajaiban.

Tangan kananku dengan sigap melambai menyapanya dan entah Neira sadari atau tidak, dia membalas dengan senyuman termanis yang kulihat 6 bulan terakhir.

Murid tadi menarik pelan baju Neira memberitahunya kalau dia sudah selesai menulis jawabannya, menyadarkan Neira untuk kembali mengajar.

Sesekali Neira mencuri pandang ke arahku dan senyumnya tetap terpampang di wajah cantiknya yang tampak sumringah.

Sebenarnya saat ini rasanya aku ingin melompat dan berlari keliling sekolah ini sambil berteriak untuk mencurahkan sukacinta yang sedang kurasakan, tapi aku masih memiliki rasa malu. Kuputuskan untuk tetap disini, berteduh dibawah pohon, memandangnya dan tetap menunggu.

Bel berbunyi, anak-anak berhamburan keluar dan Neira mengikuti mereka dari belakang, menuju kearahku.

"Hai, apa kabar?" Sapaku hangat.

Neira mengangkat kedua bahunya. Dia memicingkan matanya karena silaunya matahari.

"Gigi kamu gak kering dari tadi nyengir terus?" katanya sambil berlalu meninggalkanku.

Kata-katanya menghentikan senyumku, responnya diluar ekspektasiku. Tapi ada perasaan lega mengetahui dia baik-baik saja dan sikapnya tidak berubah sedikitpun.

Aku berlari kecil menyusulnya, kemudian berjalan disamping gadis yang sekian lama ini kucari dan meraih tangan kanannya, langkahnya terhenti. "Nei, maaf."

Neira tidak menjawab hanya melihat tajam ke arah tangannya yang sedang kugenggam. Terdengar suara anak-anak riuh mengelilingi kami. Aku tersadar, aku sedang berada di lingkungan sekolah dasar dan melepaskan genggamanku.

Neira masuk ke dalam ruangan guru, meninggalkanku yang masih dikelilingi anak-anak. Salah satu dari mereka membawa ukulele dan memberikannya kepadaku, memintaku untuk memainkannya. 

Aku menggiring mereka untuk duduk di bawah pohon dan mulai memainkan ukulele menyanyikan sebuah lagu untuk mereka. Mereka tampak malu-malu untuk ikut bernyanyi bersamaku. 

"Sejak kecil saya suka menyanyi.  Bernyanyi adalah keajaiban yang mengantar saya menggapai cita-cita yang bahkan tidak saya bayangkan sebelumnya. Sekarang kalian ikut bernyanyi ya." Ajakanku ternyata membangkitkan semangat mereka untuk mulai bernyanyi. 

Suara mereka seperti malaikat, merdu dan indah, kurasa mereka terlatih di paduan suara gereja. Suara yang murni dan masih polos membawa kedamaian bagi yang mendengarnya.

Seorang guru berseragam dinas keluar ruangan untuk ikut bernyanyi. Tak lama kemudian Neira muncul juga dan ikut bergabung. Setelah menyanyikan beberapa lagu, guru tersebut menyarankan anak-anak untuk pulang karena hari mulai sore. Mereka berpamitan, melambaikan tangan dengan wajah berseri.

"Terima kasih Nak Faaz, sudah menyempatkan menghibur kami disini."

"Justru saya yang terhibur Bu, suara mereka indah sekali. Saya pamit pulang, sekalian mau mengantar Neira."

"Semoga kehadiran Nak Faaz disini bisa menginspirasi anak-anak untuk meraih cita-cita setinggi mungkin, karena mereka cenderung masih ragu untuk bermimpi besar."

"Amin, semoga ya Bu, hal sekecil apapun bisa membawa perubahan yang berarti. Kami pamit dulu, selamat sore." Ujar Neira sambil berpamitan.

Aku berjalan disebelah Neira, setelah tiba di depan sekolah dia mengeluarkan sesuatu dari tasnya, menghadapku dan mengusapkannya ke pipi, dagu, jidat, hidung, lalu meratakannya ke seluruh wajahku. Kemudian menumpahkan sebagian besar isinya ke telapak tanganku.

"Disini sangat terik, matahari bisa memanggang orang yang tidak terbiasa dengannya." Oceh Neira sambil melihatku dari kepala hingga kaki dari sudut matanya. Aku hanya bisa tersenyum mendengar ocehannya dan mengoleskan cairan itu ke seluruh tangan dan kakiku.

Setelah selesai, Neira sudah berada dibagian belakang motor mendahuluiku. Aku hanya tertawa melihat tingkahnya dan berlari lalu memboncengnya.

Motor melaju perlahan, kembali melewati jalan gersang berbatu dan berdebu, sejauh mata memandang tidak ada lagi manusia selain kami berdua.

"Bagaimana kabarmu Nei? Kamu tampak lebih kurus."

"Baik, sejak dua jam yang lalu."

"Bagaimanakabarmu sebelum dua jam lalu?"

Harus Ku MilikiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang