Akhirnya satu persatu masalah di perusahaan dapat aku atasi. Ryu sudah ditangkap, uang yang dikorupsi tidak semua terpakai dan sisanya sudah dikembalikan, walau begitu dia tetap harus menjalani hukuman. Di negara komunis seperti Laos, korupsi merupakan kejahatan besar yang tidak bisa ditolerir.
Masalah yang masih tersisa yaitu menutup kerugian yang dialami perusahaan. Tidak mudah memang tapi sudah ada titik terang karena tidak lama lagi akan ada proyek besar. Tidak sia-sia aku menghabiskan waktu, tenaga, pikiran dan emosi untuk mengembalikan kesehatan keuangan perusahaan.
Posisiku di perusahaan masih sama, hanya kini ada Yoga anak sulung om Tanu yang nanti akan memimpin perusahaan ini sepenuhnya.
Selain karena pertanggung jawabanku kepada karyawan, juga kepada Om Tanu yang menuntut agar aku menyerahkan perusahaan ini kepadanya mimimal dalam keadaan seperti sepeninggalan orangtuaku. Mungkin lebih tepatnya orangtua angkatku. Ternyata aku bukanlah anak kandung ayah dan bunda. Aku hanya anak adiknya bunda yang meninggal karena sakit saat aku berusia 3 tahun dan ayah kandungku sudah lebih dulu berpulang. Sebagai anak angkat aku tidak punya hak atas kepemilikan peninggalan Ayah.
Hal ini baru terungkap sesaat sebelum aku pulang ke Laos. Koper dan barangku sudah berada diteras rumah ditambah dengan hardikan Om Tanu yang enggan menerimaku menjadi bagian dari keluarganya.
Berat memang, tapi bagaimana lagi. Yakin tuhan sedang mengujiku sedemikian rupa saat ini dan menyiapkan hal indah jika sudah waktunya. Jadi aku belajar berdamai dengan semua hal dan mengikuti alur yang sudah digariskan dalam takdirku.
Setelah kehilangan orang-orang yang kucintai, aku mempunyai tujuan hidup lagi saat bertemu Faaz. Merasa memiliki arti dan alasan atas eksistesi diri ini.
Tapi mencintai sesuatu yang tidak bisa digapai hanya akan menyakiti diri, pun jika membenci, keduanya sama-sama melelahkan. Jadi kuputuskan untuk melupakannya dan fokus kepada masalah yang sedang kuhadapi.
Sengaja tidak kusisakan ruang untuk Faaz hadir lagi di hidupku. Aku menutup semua akses sosial media dan mengganti sim card ke nomor baru.
Tapi apa daya, rindu terkadang masih menyelinap tak terkendali. Untuk memuaskannya aku masih megikuti kabar Faaz yang kerap muncul media online.
Sekarang dia sangat produktif, kabar terbaru Faaz akan mengadakan konser di beberapa kota besar.
Aku senang dia bertumbuh, walau tanpa kehadiranku. Aku tenang meninggalkannya dalam keadaan sudah baik-baik saja.
Pagi ini aku datang terlambat karena ban motorku kempes. Ya, sekarang aku menyewa rumah kecil dan membeli sebuah motor dari tabungan yang kupunya setelah rumah dan kendaraan diambil alih om Tanu.
Som, rekan kerja yang cukup dekat denganku, mengabarkan ada tamu menunggu di ruanganku. Pintunya dalam keadaan terbuka, saat aku masuk tamu itu berdiri.
Laki-laki yang kukenal tapi sosoknya sangat berbeda namun dengan wangi yang masih sama. Tampak lebih muda, tanpa janggut dan kumis, tanpa rambut gondrong dan tanpa lemak berlebih dibadannya.
Yang kulihat sekarang badannya lebih tegap dan proposional. Dada bidangnya sedikit nampak dibalik kemeja tipis yang dia pakai. Potongan rambut quiff membuatnya lebih maskulin, rahang yang tegas memperjelas wajah tampannya. Yang masih sama hanyalah matanya yang tajam dan indah. Mata yang selalu membuatku jatuh cinta setiap kali melihatnya.
"Faaz?"
"Nei" dia tersenyum. Senyum yang selalu kurindukan.
"Bagaimana kamu bisa ada disini?" hal ini sangat mengejutkanku.
"Apa kabar?" Faaz tidak menjawab pertanyaanku.
"Ehm, baik." Aku menutup pintu, berusaha menyamarkan kekalutanku. Demi apapun, aku tidak siap untuk bertemu Faaz saat ini. Bahkan peluhku pun belum mengering setelah terjemur matahari yang terik saat mengendarai motor. Aku hanya berharap bauku tidak seperti bantal yang sedang dijemur.
"Nei, kamu makin cantik seperti ini." Gombalan yang acapkali keluar dari mulutnya untuk perempuan yang menjadi lawan mainnya.
"Masih obral gombal ya?"
"Aku serius, kamu lebih cantik berhijab."
Oh ya, aku sekarang berhijab. Meski belum berhijrah aku mencoba lebih mendekatkan diri kepada-Nya.
Dulu saat menemani Faaz kajian, banyak sekali ilmu baru yang kudapatkan, termasuk kewajiban menutup aurat. Ilmu yang kudapat dari kajian juga yang membuatku kuat bertahan dari cobaan-cobaan yang menghampiri, salah satunya yaitu ilmu ikhlas.
"Banyak yang ingin aku bicarakan Nei, kamu ada waktu?"
"Aku istirahat 3 jam lagi."
"Oke, aku punya banyak waktu. Boleh aku nunggu disini? Aku nggak tau harus kemana, aku janji nggak akan mengganggu."
Sementara aku bekerja, kubiarkan Faaz tetap diruanganku hanya disuguhi air putih. Tapi tak satupun pekerjaanku yang selesai, yang ada dipikiranku semua tentang Faaz. Bagaimana, kenapa, ada apa, pertanyaan itu terus muncul silih berganti, sedangkan dia ada dihadapanku.
Sesekali aku melihat dari sudut mata, tak ada yang dia lakukan hanya diam bersandar dan memperhatikanku, bahkan dia tidak memainkan hpnya. Hanya sesekali merubah posisi duduknya, sebatas itu.
Hampir jam 12, seseorang mengetuk pintu dan kupersilahkan masuk, ternyata Som.
"Faaz, kenalkan ini Som, dia pacarku. Som ni Faaz." aku mengenalkannya pada Faaz.
Entah ilham darimana tiba-tiba aku mengakui Som sebagai kekasihku. Mungkin aku berusaha membangun benteng lain agar aku tidak jatuh cinta lagi pada Faaz. Sudah berkali-kali patah tumbuh menyukai. Tapi kali ini dia tampak semakin sulit kugapai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Harus Ku Miliki
RomanceApa jadinya jika perempuan muda yang sebatang kara dipertemukan dengan seorang idol yang sedang hiatus karena memiliki masalah kesehatan mental. Saling mengisi kekosongan dihidup mereka dan menjadikan dunia mereka lebih berwarna dan bermakna. Namun...