Part 11

12 3 0
                                    


"Gua takut enggak punya waktu lagi" aku menggenggam kedua tangannya dan memberinya ruang untuk bercerita "bapak meninggal umur 27 tahun, serangan jantung. Bisa aja gua mati diumur yang sama atau bahkan lebih muda lagi." Faaz menarik napas panjang.

"Gua punya janji untuk pergi haji dan menghajikan keluarga. Disaat gua mampu, gua enggak punya waktu. Mabuk duniawi." ujarnya dengan kepala masih menunduk.

"Yakin semua ada waktunya dan Tuhan pasti memampukan lu kalau memang giliran lu tiba." Aku mencoba untuk menenangkannya, ternyata keresahan itu yang memicu kepanikannya kali ini. 

'Mungkin Tuhan cemburu padamu dan merindukanmu Faaz. Kamu beruntung dirindukan oleh-Nya.'

"Pulang yuk" ajakku. Dokter sudah memperbolehkannya untuk pulang karena secara fisik memang baik-baik saja. Kupakaikan Faaz topi, masker dan kacamata hitam dengan maksud menyamarkannya. Tampak berlebihan memang, tapi aku tak mau ambil resiko jika seseorang mengenalinya.

Aku menemani Faaz di mobilnya, sementara Mas Toto membuntuti kami.

"Nei, selagi disini, kita jalan-jalan dulu." ajak faaz tiba-tiba.

"Oke, tunjukin aja arahnya kemana." Aku menyambut idenya sambil tetap fokus dengan kemudi.

Kota ini terasa romantis dengan sisa hujan yang masih membasahi. Sesekali butiran air jatuh dari daun pohon-pohon besar ke kaca jendela depan.

Radio melantunkan sebuah lagu yang diiringi petikan gitar dengan lirik penuh makna, seperti berdialog dengan Tuhan.

"Berhenti di depan Nei." tiba-tiba Faaz memintaku menepi. "Kamu mau bandros ga?" aku mengangguk dan mengikutinya menghampiri gerobak kecil yang ditunggui seorang kakek tua.

"Bandrosnya masih ada Pak?" Faaz bertanya kepada kakek tua yang tampak sedang melamun.

"Ada, den. Mau berapa?" 

"Kalau saya beli semua harganya berapa?"

"Mau dibeli semua? Mungkin harganya 150.000. Masih lumayan banyak, kalau hujan sepi" jawabnya sedikit terkejut.

"Boleh deh, saya beli semua, nanti saya ambil 3 porsi, sisanya kasih yang lewat aja."

"Alhamdulillah, terima kasih banyak, Abah jadi bisa pulang lebih cepat. Semoga aden selalu sehat, dimudahkan semua urusannya dan lancar rejeki" Wajahnya tampak sumringah. Tangan rentanya dengan cekatan mengolah dagangannya.

"Aamiin" Faaz dan aku serentak mengaminkannya.

Aku ikut bahagia melihatnya, ada haru saat mendengar suara kakek mensyukuri yang mungkin bagi sebagian orang itu hanya hal kecil.

Sebuah motor menepi. Pengemudinya turun mendekati gerobak bandros.

"Bah, beli 10" ujar pembeli itu.

Faaz bangkit menuju asal suara itu. "Mas Pungkas? Apa kabar mas?"

"Faaz? Pangling, sekarang lebih seger. Kemana saja jarang kelihatan?" ujar pria itu sambil membetulkan posisi kacamatanya.

"Iya mas. Saya... lagi sakit." jawab faaz sedikit terbata.

"Sakit apa? Ayo kita lanjut ngobrol dirumah. Gak jauh dari sini." Ajaknya kepada Faaz sambil menepuk pelan punggung Faaz. Mereka tampak akrab, mungkin ia salah satu rekan kerjanya Faaz.

"Boleh mas. Ini teman saya Neira dan mas siapa namanya?" Faaz memang belum tau namanya. Aku menyambut uluran tangan Mas Pungkas untuk bersalaman.

"Saya Toto. Kalau boleh saya ijin pulang duluan, ada keperluan." Aku mengangguk mengijinkannya pulang. Kurasa aku bisa menyetir tanpa dikawal, jaraknya tidak terlalu jauh apalagi jika lewat tol.

Setibanya di rumah mas Pungkas yang sederhana namun sangat nyaman dengan halaman penuh dengan tanaman hijau menambah kesegaran cuaca sore ini. Kami memilih duduk di teras agar bisa menikmati udara segar dan wangi tanah seusai hujan.

"Nei, mas Pungkas ini seniman hebat, penulis sekaligus penyanyi dan pencipta lagu. Salah satu lagunya yang tadi kita dengar di radio."

"Ooo itu lagu mas Pungkas? Dalam sekali maknanya. Baru sekali dengar langsung suka."

"Masih kalah jauh aku sama Faaz. Anak muda dengan segudang prestasi. Oh iya, tadi kamu bilang sakit? Sakit apa?"

Faaz menceritakan semuanya. Awalnya dia tampak ragu, tapi karena Mas Pungkas menanggapi dengan bijak, jadi akhirnya semua mengalir begitu saja.

"Ada satu hal yang Tuhan gak punya, yaitu rasa takut dan Tuhan berikan itu kepada manusia. Bukan untuk dilawan, tapi berdamailah dengan rasa itu. Lagipula setiap individu sudah Tuhan desain untuk bertahan dengan masalah masing-masing. Jadi nggak usah khawatir. Kalau kamu ada waktu, kamu bisa ikut kumpul mengkaji, biasanya kita manggil ustadz-ustadz yang menghalalkan musik hahaha. Banyak seniman lain yang bergabung. Siapa tahu bisa menjadi jalan ikhtiar untuk kesembuhan kamu. Yah minimal refreshing main ke kota ini, cari suasana baru."

Harus Ku MilikiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang