Part 8

11 3 0
                                        


"Ya, gimana lagi." Kami tidak punya pilihan lain. Aku menuju lobi hotel Sambil melihat website untuk mengetahui harga dan ternyata ratenya mahal sekali. Setara dengan tiket PP Jakarta-Vientiane.

"Apa ada kamar kosong?" tanyaku pada wanita di meja resepsionis.

"Berapa kamar, kak? Biar saya cek dulu" lalu mulai mengetik

"Satu kamar" jawabku pasti. Sayang sekali jika numpang tidur saja harus mengeluarkan uang lumayan banyak. Biar nanti salah satu dari kami tidur di sofa atau di lantai.

Petugas resepsionis itu berbisik kepada rekannya. Entah apa yang mereka bincangkan.

"Bisa saya bicara dengan manager?" Faaz muncul dibelakangku

Lalu tak lama kemudian manager menghampiri Faaz, mereka berbincang berdua di sisi lain lobby. Dan akhirnya kami diarahkan langsung olehnya ke glamping resort di atas laut dangkal.

Kamarnya luas, didalamnya terdapat satu tempat tidur besar berkelambu dengan view laut lepas, satu sofa, meja rias, tv dan rak panjang. Selain itu di teras yang berbatasan langsung dengan laut terdapat dua kursi untuk berjemur dan kolam pribadi. Pemandangan malam yang syahdu diiringi deburan ombak yang terus berkejaran tanpa henti.

"Lihat, itu polaris, bintang paling terang di rasi beruang kecil." Tunjukku ke satu bintang paling bersinar di arah utara.

"Waktu gua belum tau nama lu, gua sebut lu beruang. Abis lu gede dan berbulu." Aku cekikikan.

"Berbulu, sembarangan nih bocah. Nih gua kasih bulu biar tau rasa." dia menyodorkan janggutnya sambil mengejarku.

Aku panik dan menceburkan diri kekolam renang. "Faaz gua gak bawa baju gantiii" dia menertawakanku dari teras. Dan menyusulku terjun ke dalam kolam.

"Neiraa, gua juga gak bawa baju ganti." Faaz mengkopi ucapanku tadi. Kucipratkan air kolam ke arahnya dengan membabi buta. Terlanjur basah, kami lanjut bermain air hingga puas.

Aku menopang dagu dipinggir kolam sambil melihat langit. "Aku gak akan lupa momen ini, Faaz."

"Kalau aku liat polaris pasti aku bakal inget kamu." Timpal Faaz

Kami bertatapan dan tersenyum bahagia. Seakan lupa dengan beban dan masalah yang menunggangi kehidupan masing-masing.

Faaz beranjak dari kolam dan membantuku untuk naik. "Udahan yuk, nanti masuk angin. Kita beli baju, tadi gua lihat ada toko baju didekat lobby."

Aku mengambil kimono yang disediakan hotel dan menyerahkan 1 pada Faaz, kemudian bersegera menuju toko untuk membeli baju ganti.

Aku memilih baju seadanya lengkap dari atas hingga bawah. Dalam waktu singkat kami sudah selesai dengan pilihan masing-masing dan bergegas kembali ke kamar.

Aku mendapat giliran pertama untuk mandi, sementara Faaz bermain gitar yang dipinjamnya dari karyawan hotel yang kami temui saat perjalanan pulang dari toko.

Dia cukup lihai memainkannya, suaranya pun merdu. Aku tidak tahu lagu yang dinyanyikannya tapi sangat easy listening. Aku menikmatinya, sambil berendam air hangat.

"Faaz, sebentar lagi gua selesai, lu buruan mandi, biar gak kedinginan." Aku bersiap keluar kamar mandi. Tidak ada jawaban, suara gitar dan nyanyiannya sudah berhenti beberapa menit yang lalu. 

Kuhampiri Faaz yang duduk lunglai di sofa, wajahnya tampak memerah. Kuletakan punggung tanganku didahinya. Faaz demam, mungkin sekitar 39 derajat celcius.

"Faaz, ganti baju dulu ya, gak usah mandi" Aku memapahnya ke toilet lalu memesan makanan dan minuman hangat melalui telepon.

Untunglah pesananku cepat datang. Segera kusuapi Faaz agar dia bisa meminum obatnya.

Aku berusaha tetap terjaga sambil sesekali membasahi kain kompres. Faaz mulai tertidur, aku menutup ranjang dengan kelambu, khawatir tidurnya terganggu serangga yang menyasar.

Aku terduduk di lantai tepat disamping Faaz dan meletakkan kepalaku di kasur berhadapan dengan kepalanya. Kucoba mengecek kembali dahinya, panasnya mereda.

Jariku tergoda untuk perlahan menjelajahi alisnya lalu hidung dan bibirnya. Kutatap wajahnya yang terlelap dibalik kelambu, terasa damai, hanya ditemani debur ombak.

Kubuka mataku perlahan, rupanya aku ketiduran.

"Hai" sapa Faaz pelan. Posisi kami masih sama seperti sebelumnya.

"Hai, udah sembuh?" tanganku menyentuh dahinya

"Udah" Faaz beranjak dari tempat tidurnya dan membopongku ke atas tempat tidur dan menyelimutiku.

"Kamu tidur nyenyak banget. aku nggak berani bangunin kamu Nei."

"Tidur lagi sini." Aku menepuk bantal yang kosong disebelahku. Faaz merebahkan tubuhnya, masuk kedalam selimut yang sama.

"Aku khawatir kamu kenapa-napa."

"Aku enggak apa-apa. Makasih udah ngerawat aku." Faaz membetulkan selimut hingga menutupi pundakku.

"Sekarang kamu tidur lagi, baru jam satu." Dia mengelus-elus dahiku, layaknya hendak menidurkan bayi. Aku mengangguk dan membenamkan kepalaku dibantal yang sangat empuk.

Harus Ku MilikiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang