"Nggak ada tulisan apa-apa didalamnya. Udah gak usah dipikirin. Salah kirim kali, nanti gua bawa pulang aja sekalian dikuburin."
"Makasih kak."
Kak Mala menghabiskan minumannya dan berpamitan untuk kembali ke lokasi syuting pembuatan MV dari lagu terbaru Faaz.
Dalam proyek ini Faaz menjadi pemeran, produser sekaligus menjadi sutradara untuk pertama kalinya. Bisa dibilang ini ada proyek ambisius yang telah lama dia idamkan. Itulah kenapa Faaz jarang datang kemari karena dia harus ekstra fokus dengan pekerjaannya dan meminjamkan buku agar aku tidak bosan.
Dia tau sekali kalau aku bukanlah tipe orang yang menghabiskan waktu berjalan-jalan di mall atau nongkrong di café. Diam di kamar membaca buku atau sekedar menonton tv sudah sangat cukup untukku.
Saat ini aku mulai membuka helai ke-87 sebuah buku setebal bata karangan seorang artis yang juga penulis wanita terkenal. Karya masterpiece tentang hal mistis yang didasari mitologi budaya Jawa.
Bel berbunyi lagi, sudah berkali-kali bel berbunyi hari ini. Dengan malas aku mengintip lubang intip di pintu. Kulihat Faaz memasang muka konyolnya, tapi seaneh apapun dia tetap tampak tampan dan selalu menggetarkan hatiku saat melihatnya. Kubuka pintu perlahan dengan ekspresi muka yang sedang malas.
"Kok mukanya ditekuk gini, nggak senang ya aku datang?"
Aku menggandeng tangannya menggiring dia duduk di kursi.
"Seneng, seneng banget malah. Tadi sebelum kamu datang bel bunyi terus tapi tiap kuintip ga ada siapa-siapa."
"Orang iseng yang lewat mungkin. Ini, aku bawa cireng kesukaan kamu." Faaz memberikan plastik berisi kudapan favoritku yang baru kucoba saat tour ke Bandung.
"Makasih." Senyumku kembali mengembang
"Gampang banget sih bikin kamu senyum, tinggal disogok pake cireng aja udah happy."
Aku memasukkan satu buah cireng dalam satu suapan dan mengunyahnya dengan terburu-buru hingga hampir tersedak. Dan bergegas ke dapur untuk mengambil minum.
"Udah makan? Mau minum apa?"
"Aku udah makan, minumnya yang biasa aja."
Aku menjawab dengan membuat bulatan dari jari telunjuk dan jempol.
"Gimana hari ini? Syutingnya lancar? " Tanyaku setelah Faaz meneguk minumannya.
"Hari ini kena tonjok dikit." Ujarnya memasang wajah memelas. Mengingatkanku pada kartun kucing dengan sepatu boots. Tampak menggemaskan, biasanya kalau sudah seperti ini dia ingin dielus-elus, mirip seperti kucing.
"Kasian, mana coba lihat?" Faaz menunjuk pipinya, aku mengeceknya sepintas. "Gak apa-apa, jagoan. Pasti capek ya? jam segini baru beres."
"Capek banget." Faaz menyandarkan kepalanya ke bahuku. Aku mengelus pipinya dengan tangan kananku sambil menonton film lawas hollywood di televisi.
"Faaz aku sudah menentukan pilihan, aku akan kuliah di Yogya."
"Jangan Nei, terlalu jauh." Faaz mengubah posisi duduknya agar bisa menghadapku.
"Gawai bisa membuat kita tak berjarak Faaz" Aku mencoba meyakinkannya.
"Banyak kampus disini yang bagus, kamu bisa pilih kampus manapun yang kamu mau. Aku bantu, asalkan kamu tetap disini."
"Bukan masalah itu Faaz. Disini terlalu banyak distraksi, berbeda dengan Yogya yang tenang. Atau kalau bisa aku akan memilih Sumba atau Halmahera dibandingkan kota ini." Biaya memang bukan hal utama yang kupertimbangkan.
"Apa aku harus menikahi kamu dulu agar kamu mau tetap tinggal disini. Menuruti apa yang diinginkan seorang suami."
"Bukan begitu Faaz, kamu tahu aku, sebelum aku ..." Faaz memotong ucapanku
"Memantaskan diri? Bagiku kamu sudah pantas. Apa lagi? Mau keliling dunia dulu, kegiatan amal, semua bisa dilakukan setelah menikah. Apa aku yang belum pantas untuk kamu Nei?"
"Jangan berbicara seperti itu Faaz. Nggak ada yang salah dengan kamu. Aku merasa saat ini aku tidak cukup baik untuk kamu."
"Nei, dengarkan aku. Kamu cantik, sangat baik, kamu tulus apa adanya."
"Belum cukup Faaz, untuk perjalanan panjang sebuah pernikahan aku ingin dicintai dengan setara, dalam rasa, dalam karsa. Dimana kehadiranku menjadi candu dan ketidakberadaan ku akan diperjuangkan bukan dibiarkan. Aku bisa, aku yakin bisa hidup selamanya dengan kamu apapun yang terjadi. Apakah kamu bisa seperti itu?" Faaz terdiam, bergumul dalam pikirannya.
"Faaz aku tidak bermaksud menuntut kamu apapun. Semua yang berhubungan dengan kamu, tak ada yang bisa aku paksakan. Semua keputusan kuserahkan kepadamu. Tapi tidak untuk ambisiku. Hanya aku sendiri yang berhak untuk itu."

KAMU SEDANG MEMBACA
Harus Ku Miliki
Roman d'amourApa jadinya jika perempuan muda yang sebatang kara dipertemukan dengan seorang idol yang sedang hiatus karena memiliki masalah kesehatan mental. Saling mengisi kekosongan dihidup mereka dan menjadikan dunia mereka lebih berwarna dan bermakna. Namun...