Part 2

17 3 2
                                    

Seminggu sudah aku di Indonesia tidak banyak yang kulakukan. Jenuh, tentu. Tapi sebagai seorang introvert aku masih bisa menikmatinya.

Keseharianku hanya bergelut dengan tanaman peliharaan Yangti dan sesekali mengecek database perusahaan dan laporan-laporan yang dibuat Kam, orang kepercayaan ayah yang menggantikanku sementara waktu.

Sejak masih sekolah Ayah melibatkanku mengurus perusahaan kecilnya, seperti mengecek kas atau penjualan. Jadi ketika mereka tidak ada, aku sudah sedikit terbiasa dengan semua itu.

Rumah ini sepi semenjak Yangti meninggal. Ya, Yangti meninggal saat aku dalam perjalanan dari bandara menuju rumah sakit.

Setelah pemakaman, aku membantu keluarga Om Tanu, anak tertua Yangti, untuk menerima pelayat yang masih berdatangan hingga hari ketiga. Setelah itu mereka kembali ke Surabaya meninggalkan aku sendiri di rumah besar ini.

Ingatanku mengembara ke masa kecilku di rumah ini, saat aku merayakan ulang tahun yang ke lima. Sebatas itu, karena tak lama setelah itu kami pindah ke Laos.

Kupandangi setiap sudut kamar ini dan mataku tertuju pada sebuah dompet hitam yang mencuat dari saku bagian luar ransel yang tergantung dibalik pintu.

"Aaargh Neira, kamu harusnya berikan dompet ini ke petugas bandara" Umpatku pada diri sendiri.

Mungkin sebaiknya aku kembalikan dompet si beruang kutub. Lagipula aku mau sekalian mencari makan diluar, mulai bosan dengan masakan rumah.

Kubuka dompet kumal itu, kucari kartu identitas dan berharap alamatnya sesuai dengan yang tercantum disana. Fotonya sudah buram, hanya bagian matanya yang masih bisa kulihat. Jl. Mercusuar no. 58. Kucek google map, ternyata letaknya tidak begitu jauh dari sini. Pemiliknya bernama Faazri Alfath.

Tak lama kemudian aku sudah sampai ditujuan dengan taksi biru. Kupastikan lagi alamatnya sambil menjinjitkan kakiku berharap melihat seseorang dibalik pagar. Pintu pagarnya terbuka, kuberanikan diri untuk masuk setelah tengok kanan kiri memastikan tidak ada siapapun disana.

"Halo, permisi, assalamualaikummmm" teriakanku tidak menghasilkan apapun.

Kuketuk pintu lumayan keras dan ternyata menganga terdorong ketukanku. 'Loh ga dikunci, mungkin sebaiknya aku tinggalkan saja dompetnya didalam'. Naluriku memberi arahan seperti itu.

Perlahan aku melangkah memasuki rumah itu, tampak furniture monochrome yang maskulin semakin mempertegas bangunan dengan tema industrial ini.

"Woyyy, MALING!!!" Teriak sesosok pria gempal bertelanjang dada tiba-tiba muncul entah darimana dan menunjuk ke arahku

Aku tertangkap basah, panik hingga tanganku yang hendak menyimpan dompet akhirnya menyenggol vas bunga besar diatas voyer. Coba kutangkap tapi kepanikanku tidak bisa mengimbangi gravitasi hingga vas indah itu berubah menjadi kepingan kaca tanpa bentuk.

"Aaaaaa" pria itu berteriak. Kulihat dia menutup kedua telinganya dengan erat dan matanya terpejam tak kalah eratnya.

Seorang wanita kurus paruh baya mengenakan daster batik warna coklat tua muncul dari pintu masuk dan berlari memburu pria itu dengan wajah cemas.

"Bang, tenang Bang" ujarnya sambil mengelus punggung dan mencoba menenangkan sosok tinggi besar dihadapanku.

Baru kali ini aku disituasi seperti ini. Bingung harus berbuat apa, secara reflek aku membantu ibu tadi mengarahkannya duduk di sofa didekatnya.

"Maaf bu, saya kesini cuma mau mengembalikan dompet masnya, saya gak bermaksud buruk, demi Allah." aku menjelaskan seperlunya.

"Iya gak apa-apa neng. Bibi yang salah lupa tutup pintu waktu ke warung." timpalnya dengan raut penuh sesal "Neng tolong jaga dulu bang Faaz ya, biar bibi yang bersihkan vasnya." Pelan pelan matanya terbuka, menghela napas perlahan dan panjang, mencoba mengatur ritme pernapasannya.

"Kita impas sekarang, lu yang tabrakan sama gua di bandara kan?" Faaz berkata lirih sambil merebahkan kepalanya ke sandaran sofa. Tangannya meramas rambut lebatnya ke arah belakang.

Sekarang wajahnya dapat kulihat dengan jelas. Sorot matanya tajam sekaligus indah, alisnya tebal dan panjang, hidung yang meruncing. 

"Lu denger gua ga? Terpesona ya liat gua" ujarnya sambil tersenyum. Matanya seakan ikut tersenyum, melengkung seperti bentuk bulan sabit. Sangat berbeda sekali dengan Faaz yang kulihat dua menit yang lalu.

"Get over yourself! Ini dompet kamu." ucapku tegas menutupi kekagumanku sebelumnya. Menyimpan dompetnya di meja dan bergegas menuju pintu keluar. Kurasa dia sudah baik-baik saja dan tidak perlu dijaga lagi.

"Saya pamit Bi" ujarku kepada wanita paruh baya itu ketika melewatinya.

Aku menyusuri trotoar yang dipayungi pohon rindang menjauhi rumah itu. Hei, kota ini ternyata tidak seburuk yang kuduga, jalanannya cukup nyaman untuk pejalan kaki.

Namun belum lama aku menikmatinya, tiba-tiba sesosok pengendara motor menjambret tasku dan memacu motornya sangat cepat.

"Tolooong, pencuri" aku berusaha berlari walau sadar tidak mungkin mengejarnya. Tidak ada orang lain disekitarku hanya kendaraan yang lalu lalang dan tak peduli dengan teriakanku.

Bagaimana ini? uang dan hpku ada didalam tas itu. Tidak mungkin aku kembali ke rumah Faaz, lalu berkeluh kesah dan meminta tolong agar bisa pulang.

Kuputuskan untuk melanjutkan ke arah halte dan berharap menemukan taksi yang bisa mengantarku pulang.

Sore ini matahari masih sangat terik. Sungguh hari yang melelahkan, kusenderkan kepalaku ke tiang.

Sebuah motor berhenti di depanku, pengemudinya membuka kaca helm fullface warna hitam.

"Ayo, gua antar pulang!" ternyata pengemudi itu Faaz, walau wajahnya terhalang helm tapi aku mengenali matanya.

"Tidak usah, aku sedang tunggu taksi" ujarku ketus

"Taksi lagi demo, gua jamin nggak bakalan ada yang lewat." Seraya memakai sarung tangannya yang sedari tadi dikepal.

Pantas hampir 30 menit aku disini tak satupun taksi yang melintas. Tanpa banyak kata kali ini aku menurutinya.

"Rumah lu dimana?"

"Setramulia 75"

"Oh gua tau dimana, deket situ ada nasi goreng enak, kebetulan gua lapar."

Kubiarkan dia bermonolog sepanjang jalan, kadang diselingi senandung mulai dari lagu pop, rock, dangdut sampai melayu.

Dia menghentikan motornya dipinggir sebuah gerobak nasi goreng. "Makan dulu yuk."

"Makasih, aku pulang saja, sudah dekat." Akupun berlalu tanpa menunggu jawaban darinya.

Harus Ku MilikiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang