Valeska sudah memberi tahu orang tuanya, Sandra dan Dito, bahwa dirinya tengah hamil. Namun, dengan jarak yang begitu jauh karena mereka tinggal sementara di luar negeri sampai proyek dito selesai, kunjungan langsung pun terasa mustahil. Hanya doa dan pesan-pesan mereka yang kini menemaninya dari kejauhan.
Gio mendekati Valeska dengan langkah tenang. "Sayang, makan yuk. Kamu belum makan, kan?" suaranya lembut, penuh perhatian.
Valeska menghela napas panjang, rasa mual semakin menguasai tubuhnya. "Kamu tuh bisa ngerti ngga sih? Aku tuh mual kalau dikasih makan" jawabnya, nada ketusnya tak dapat ia tahan.
Gio mengernyitkan dahi, menggumam pelan, "Buset, marah-marah mulu dari sore"
Namun, dia tetap mencoba bersikap lembut, "Sedikit aja, Val. Kamu belum makan dari siang tadi." Suaranya penuh bujukan.
"Enggak mau, Kak Gio. Jangan maksa coba!" Valeska menolak dengan tegas, nadanya tak lagi main-main.
Gio mendesah panjang, suaranya mulai terdengar merajuk. "Kenapa marah-marah terus sih? ngga bisa santai aja gitu ngomongnya?"
Valeska menyipitkan mata, emosinya tersulut. "Mana gue tau. Karna anak lo kali" jawabnya tajam.
Gio terdiam sejenak, tak percaya dengan kata-kata yang baru saja didengarnya. "Anjir lah.. Lo-gue ngga tuh!" dia bergumam tak menyangka.
Valeska memutar bola matanya, lalu menatap Gio tajam. "Kak Gio, bisa diem ngga? Lama-lama muka kamu tuh bikin aku mual, sumpah. Sana, pergi!"
Gio mengangkat kedua tangannya menyerah. "Wah, fiks nih. Setelah ini gue harus nyari kost-kostan buat ngungsi selama sembilan bulan," gumamnya setengah bercanda, lalu beranjak ke dapur.
Di dapur, Gio bertemu Bi Sari yang sedang menyiapkan lauk untuk makan malam. Wajahnya masih tampak kusut.
"Kenapa, Den? Mukanya kusut gitu," tanya Bi Sari sambil tersenyum.
Gio menggeleng pelan, menatap penuh tanya. "Bi, kalau orang hamil marah-marah terus, itu kenapa ya?"
Bi Sari terkekeh lembut, sudah tahu situasi yang dihadapi Gio sejak beberapa jam lalu. "Orang hamil, Den, hormonnya tuh beda-beda. Mungkin Non Valeska marah-marah karena bawaan hormonnya."
Gio mendesah panjang. "Kalau tiap hari kayak gini, mana tahan, Bi…"
Bi Sari tersenyum geli, tak bisa menahan tawanya. "Biasanya nempel terus kaya perangko, sekarang malah suruh jaga jarak, ya?"
Gio tersenyum miris. "Iya, Bi. Masa Valeska mual liat muka aku," gumamnya.
Tawa Bi Sari semakin lepas. "Sabar, Den. Ini masih awal. Bisa jadi nanti Den Gio malah jadi obat penawar mualnya Non Valeska."
Gio hanya bisa tertawa kecil, meski dalam hatinya mulai merasa lelah dengan situasi ini.
Di sisi lain, Valeska duduk di balkon kamar, membiarkan angin malam mengusap lembut wajahnya. Ia menatap langit yang dihiasi cahaya bulan dan bintang-bintang berkilauan, seolah ingin mencari jawaban di antara mereka.
"Masih bisa kuliah, Val. Perut lo masih rata," gumamnya, mencoba meyakinkan diri sendiri. "Setidaknya sampai semester 6 selesai, tapi ini baru kuliah dua minggu, masih ada beberapa bulan lagi."
Namun, pikirannya kembali dibebani rasa mual yang tak kunjung hilang. "Tapi mana bisa anjir? Kuliah sambil mual begini... ah, susah banget"
Ia memandang perutnya yang masih datar, merasakan kebingungan merayapi pikirannya. "Tapi kasihan anak gue," bisiknya pelan, tangannya tanpa sadar menyentuh perutnya dengan lembut.

KAMU SEDANG MEMBACA
GIOVA 2
Teen FictionEND! 08 Desember 2024 Lima tahun setelah menikah, kehidupan Gio dan Valeska dihadapkan pada ujian besar. Valeska, yang hampir menyelesaikan kuliahnya, terpaksa harus mengambil cuti karena sebuah keadaan darurat yang tak terduga. Meskipun Gio semaki...