Bimo dan Dimas melaju di jalanan sore dengan mobil kesayangan Dimas, sebuah sedan klasik yang berkilau sempurna, seolah tiap lekuknya menyimpan cerita tentang kejayaan masa lalu. Sinar matahari senja yang lembut menari di permukaannya, memperkuat aura elegan kendaraan itu. Angin sore berembus perlahan, membawa wangi rumput dan debu yang bercampur setelah gerimis reda. Mereka dalam perjalanan menuju rumah Rendra, memenuhi ajakan Gio yang disampaikan semalam.
"Keren amat,mobil jelek ini masih kinclong," ujar Bimo, matanya menyapu dashboard yang mengilap. Ia mengulurkan tangan, menyentuh permukaannya yang licin seperti kaca. "Niat banget ngerawat, udah kaya ngasuh anak sapi."
Dimas melirik sekilas, senyum bangga menghiasi wajahnya. "Ya iyalah, Bro. Ini bukan cuma mobil. Ini sejarah hidup gue. Lo tau, gue udah ngerawat ini sejak pertama kali bokap kasih gue kuncinya."
Bimo terkekeh, menyandarkan tubuhnya ke jok. "Sejarah apaan? Sejarah mogok waktu kita ke Puncak tahun lalu?" sindirnya, sudut bibirnya tertarik lebar, penuh arti.
Dimas menarik napas panjang, meski senyumnya tak juga pudar. "Yaelah, itu juga gara-gara lo, nyet, ngotot bawa alat camping yang beratnya kaya pindahan rumah."
Bimo meledak dalam tawa keras, menggema di dalam kabin mobil. "Halah, nyalahin mulu! Padahal mobil lo sendiri yang minta pensiun. Mobil butut!"
Dimas menggeleng pelan, matanya tetap tertuju ke jalan yang perlahan memerah oleh cahaya senja. "Cukup sudah. Gue tertampar. Mending lo siapin mental deh. Gue yakin Rendra udah nyimpen kata-kata mutiara spesial buat lo."
Bimo mendengus, pandangannya beralih keluar jendela, melihat pepohonan yang seakan berlari mundur. "Bodo amat. Gue udah kebal sama omongannya. Lagian, bukannya dia yang harus lebih siap ketemu gue?"
Dimas tersenyum tipis, jarinya mengetuk setir mengikuti irama lagu mellow yang mengalun dari radio. "Halah, pede amat. Lo pikir lo punya jawaban buat segala ocehannya?"
Bimo mendongak sedikit, memasang senyum penuh percaya diri. "Jawaban? Mulut gue ini tajam, bro. Santai aja, jangan nyepelein gitu dong."
Tawa mereka pecah bersamaan, memecah heningnya sore yang kini diiringi awan kelabu. Mobil terus melaju, menembus keramaian kota yang mulai tenggelam dalam bayang malam.
Sesampainya di rumah Rendra, aroma tanah basah dari hujan ringan menyeruak, membawa suasana yang tenang namun hidup. Di depan pintu, Rendra berdiri dengan pose santai, wajahnya menampilkan seringai khas yang selalu siap mengeluarkan lelucon.
"Bro, ngapain kalian ke sini? Mau minta sumbangan?" ledeknya, suaranya penuh nada usil.
Dimas memutar bola matanya, memandang Rendra dari atas ke bawah. "Lo nggak lihat gaya gue? Udah kaya Julian Jacob gini masa dibilang mau minta sumbangan," gerutunya, tangannya menyisir rambut dengan gaya dramatis.
Bimo tertawa keras, menunjuk Rendra. "Yang ada juga lo, Ren. Lihat deh baju lo, udah kaya penjaga pasar malam!"
Rendra mengangkat dagu, membalas tatapan Bimo dengan ekspresi menantang. "Eh, gue tetep lebih cakep dari lo. Mau lo ngomong apa juga, bro."
Dimas, sudah terbiasa dengan perseteruan kecil ini, hanya menghela napas panjang sambil menggeleng. "Udah, udah. Kalau kalian cekcok terus, sampai kiamat juga nggak bakal kelar."
"Dia duluan," Bimo bersikeras, menuding Rendra.
"Enak aja, lo yang mulai!" balas Rendra cepat, nadanya tegas.
"Anjir, Jangan ribut deh. Mending kita langsung jalan aja. Mau nunggu siapa lagi sih?" potong Dimas, berusaha menyudahi perdebatan.
"Bentar," sahut Rendra, melirik ke dalam rumah. "Sepupu gue belum kelar siap-siap. Dia mau ikut."

KAMU SEDANG MEMBACA
GIOVA 2
Teen FictionEND! 08 Desember 2024 Lima tahun setelah menikah, kehidupan Gio dan Valeska dihadapkan pada ujian besar. Valeska, yang hampir menyelesaikan kuliahnya, terpaksa harus mengambil cuti karena sebuah keadaan darurat yang tak terduga. Meskipun Gio semaki...