Part 7~Permintaan Maaf

173 54 19
                                    

Di dalam kelas, sudah lebih dari satu jam Valeska berjuang menahan mual. Bau semerbak parfum yang bercampur aduk semakin membuat perutnya bergolak.

"Tahan, Val… tahan...sebentar lagi selesai" gumamnya dalam hati, mata terpejam rapat, mencoba mengalihkan perhatian dari rasa tidak nyaman yang semakin menekan.

"Woi, lo kenapa?" tanya Shavira tiba-tiba, memecahkan kesunyian, menyadari wajah pucat Valeska yang tak biasa.

Valeska hanya menempelkan jari telunjuk di bibirnya, isyarat sederhana yang meminta Shavira untuk diam. Tak ada kata yang bisa ia ucapkan, hanya gelombang mual yang mendesak untuk keluar.

Tanpa bisa lagi menahan, ia mengangkat tangan. "Maaf, Pak... saya izin ke toilet," ucapnya cepat, kalimatnya terputus-putus. Dosen hanya mengangguk, dan Valeska pun melesat keluar kelas.

Langkahnya berlari tergesa, menutup mulut dengan satu tangan, perutnya serasa ingin meledak. Begitu tiba di kamar mandi, semua yang tertahan akhirnya tumpah.

Muntah... 
Berhenti... 
Muntah lagi... 
Berhenti lagi...

Valeska memegang wastafel erat, tubuhnya lemas, menggigil seolah setiap energi tersedot habis. Nafasnya tersengal, mata berembun.

"Dasar anak ini, pasti ngambek gara-gara bapaknya belum manjain dia," gumam Valeska dengan setengah tertawa, meski tubuhnya masih terasa remuk. "Menye-menye anjay, bikin kesel," gerutunya pelan.

Ia mengeluarkan ponselnya, cepat-cepat mencari nama yang sudah dihafalnya di luar kepala. Tak lama kemudian, telepon tersambung.

"Pasti mau ngadu mual lagi, kan?" Suara Gio langsung menyambut, terdengar seperti sebuah ceramah. "Aku bilang juga apa, kan sudah kubilang jangan berangkat dulu, Valeska."

"Ini gara-gara kamu, Ka Giooo," sahut Valeska dengan nada kesal.

"Eh, kok aku yang salah? Kan kamu yang ngeyel," balas Gio, kali ini nadanya terdengar seperti menyerah.

"Ya iya lah, kamu belum nyapa anak kamu, makanya dia marah," Valeska bersikukuh dengan nada kekanak-kanakan, mencoba menggoda suaminya.

"Salah lagi gue," sahut Gio pasrah, bisa membayangkan betapa keras kepala istrinya saat ini.

"Kuliah sampai jam berapa?" tanyanya, suaranya kini terdengar lebih lembut, seperti mengalah pada keadaan.

"Jam empat, masih ada dua mata kuliah lagi," jawab Valeska sambil memandang pantulan dirinya di cermin, wajahnya tampak pucat.

"Mata kuliah kedua dan terakhir, gak usah ikut. Izin aja. Aku suruh Pak Aris jemput kamu," kata Gio, suaranya lebih tegas sekarang.

"Terus, gimana sama hangout aku?" protes Valeska, meski suaranya terdengar sedikit lemah.

"Astagaaa, Valeskaa..." Gio menghela napas panjang di seberang sana. "Kondisi kamu sekarang lagi kaya gitu, masih mikirin hangout?"

"Kan ini yang terakhir... Sebelum perut aku makin besar," ujar Valeska, tetap ngotot.

"Bisa ngga si sekali aja nurut? Jangan ngeyel terus." Gio terdengar mulai kesal, meski dengan nada lembut.

"Baik-baik... Aku pulang..." Valeska mengalah dengan nada merajuk.

"Tapi ke kantor ya, jangan ke rumah," tambahnya sebelum menutup telepon.

"Iya, Kaka suamiii... Cintakuuu," ucap Valeska dengan nada sesabar mungkin. Gio hanya menghela napas, lalu memutuskan sambungan.

"Val?"

Suara itu mengejutkan Valeska. Ia berbalik dan terkejut melihat siapa yang ada di sana. "Ka Rahel?" suaranya terdengar bergetar, tubuhnya mundur, hingga menempel di dinding wastafel.

GIOVA 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang