Part 18~Cuti

1.8K 147 16
                                        

Keesokan harinya, Valeska menuruni tangga dengan langkah perlahan dan penuh kehati-hatian. Di kehamilan yang sudah memasuki bulan keenam ini, perutnya mulai terasa lebih berat, dan setiap langkahnya ia tempuh dengan hati-hati agar tidak mengguncang terlalu keras.

"Non cantik," panggil Bi Sari lembut dari arah ruang tamu, suaranya hangat namun terlihat ada sedikit keraguan di wajahnya.

"Pagi, Biii!" sapa Valeska dengan senyum, berusaha tampak ceria meskipun merasa lelah pagi ini.

"Pagi juga, Non," balas Bi Sari. Sekilas, ia tampak gelisah, seperti sedang merangkai kata-kata di dalam kepalanya.

Valeska mengerutkan kening, menyadari kegelisahan itu. "Ada apa, Bi? Kok, Bibi kelihatan gugup gitu?" tanyanya penuh perhatian.

Dengan tatapan yang penuh rasa bersalah, Bi Sari akhirnya menghela napas pelan. "Jadi gini, Non... Bibi mau minta cuti sebulan, boleh ya, Non?"

Valeska terdiam sejenak, terkejut dengan permintaan mendadak itu. "Loh, kok tiba-tiba banget, Bi? Ada apa emangnya?"

"Rumah Bibi di kampung itu, Non, kemarin malam kena angin kencang dan sebagian rumahnya roboh, biasalah rumah tua," ucap Bi Sari sambil menundukkan kepala, suaranya bergetar halus. "Bibi mau bantu renovasi, rasanya nggak enak kalau nggak pulang."

Valeska mengangguk pelan sambil merenung. "Oh, gitu... yaudah, Bi. boleh, kalau emang harus pulang. Tapi nanti balik lagi, kan?"

Rasa lega terpancar di wajah Bi Sari, senyumnya kembali hangat. "Pasti dong, Non cantik. Nanti Bibi pasti balik lagi," ucapnya meyakinkan.

"Sebentar ya, Bi, tunggu di sini," ucap Valeska sambil berbalik menaiki tangga dengan langkah pelan.

Sesampainya di kamar, Valeska membuka brankas kecil di sudut ruangan, mengambil sejumlah uang yang masih tersimpan rapi, lalu memasukkannya ke dalam amplop cokelat. Sambil tersenyum tipis, ia kembali turun menemui Bi Sari.

"Ini, Bi," Valeska menyerahkan amplop itu dengan penuh kehangatan. "Ini gaji Bibi bulan ini, dan Valeska tambahin sedikit buat bantu renovasi rumah di kampung."

Mata Bi Sari berbinar haru, dan ia segera meraih tangan Valeska sambil mengucapkan rasa syukur yang tulus. "Makasih banyak, Non… Makasih... Bibi nggak tahu harus bilang apa..."

Valeska tersenyum lembut, menepuk pelan tangan Bi Sari. "Sama-sama, Bi. Oh iya, Pak Aris masih ada, kan? Biar Pak Aris aja yang antar Bibi ke terminal ya, biar lebih cepat sampai."

"Boleh, Non?" tanya Bi Sari, sedikit kaget dengan perhatian Valeska.

"Boleh lah, Bi," jawab Valeska, tersenyum. "Biar perjalanan Bibi juga lebih nyaman."

Dengan penuh rasa syukur, Bi Sari mengangguk. "Makasi sekali lagi, Non. Semoga Tuhan membalas kebaikan Non dan keluarga."

Bi Sari tampak senang, senyumnya semakin lebar sambil memandangi amplop yang diberikan Valeska. "Aduh, Non... bener-bener deh, Bibi nggak tahu harus bilang apa. Baik banget Non sama Bibi."

Valeska tersenyum hangat sambil mengangguk. "Iya, Bi. Bibi udah kayak keluarga sendiri buat Valeska sama Ka Gio. Jadi, jangan sungkan ya, ambil aja buat bantu-bantu di kampung."

Air mata haru tampak menggenang di sudut mata Bi Sari, tapi ia buru-buru menyekanya, tidak ingin terlihat terlalu emosional. "Aduh, Non, sampe bikin Bibi pengen nangis, deh. Bener-bener nggak nyangka."

Valeska tertawa kecil, kemudian meraih bahu Bi Sari dengan lembut. "Nggak usah nangis dong, Bi, nanti valeska ikut nangis nih."

Mereka berdua tertawa bersama, suara tawa yang hangat mengisi ruangan. Setelah itu, Valeska menoleh ke arah pintu.

GIOVA 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang