Part 10~Jatuh

2.5K 165 15
                                        

Setelah tiba di rumah sakit, Gio memarkir mobil dengan cekatan di dekat pintu masuk. Ia keluar lebih dulu, lalu membuka pintu untuk Valeska. Gerakannya lembut namun tegas, memperlihatkan kepeduliannya yang tanpa kata. Valeska, yang kini sudah memasuki bulan keempat kehamilan, tampak lebih tenang, meski senyumnya tetap menyiratkan sedikit gugup.

Berjalan beriringan menuju ruang tunggu, Gio menggenggam tangan Valeska erat-erat, seolah ingin menyalurkan kekuatan yang dibutuhkan istrinya. Sesekali, Valeska melirik ke arah Gio, senyum tipis yang terpancar dari wajahnya seakan mencoba menenangkan hati yang masih diliputi rasa cemas.

"Jangan takut, Val, kan udah pernah kesini" ucap Gio pelan, suaranya lembut namun penuh keyakinan. Valeska hanya mengangguk, senyum kecil menghias bibirnya, tapi genggamannya semakin erat, seolah memastikan bahwa Gio selalu di sisinya.

Tak lama, nama mereka dipanggil masuk ke ruangan dokter. Dr. Fani menyambut mereka dengan senyum hangat dan ramah. "Selamat datang, Valeska, Gio. Gimana perasaan kalian hari ini?" tanyanya sambil bersiap-siap dengan alat USG.

"Deg-degan, Dok," jawab Valeska jujur, matanya sesaat menatap lantai.

Dr. Fani tersenyum, ada kehangatan dalam suaranya. "Padahal ini bukan yang pertama kali loh" katanya sambil bercanda ringan, membuat suasana sedikit mencair.

Valeska berbaring di ranjang pemeriksaan, dan Gio tetap berada di sisinya, menggenggam tangannya dengan lembut. Saat alat menyentuh perut Valeska yang mulai membesar, ruangan menjadi hening. Di layar, gambar hitam-putih mulai muncul, memperlihatkan sosok mungil di dalam rahim.

"Ini dia," bisik Dr. Fani, suaranya penuh kehangatan dan rasa syukur. "Bayinya sehat, detak jantungnya juga bagus."

Dr. Fani melanjutkan pemeriksaan sambil menjelaskan perkembangan si kecil. Setiap kata yang terucap dari bibir dokter tersebut membuat kecemasan di hati Valeska perlahan-lahan memudar. Rasa lega mulai menyelimuti dirinya, dan Valeska akhirnya bisa menarik napas panjang dengan tenang.

Sebelum mereka keluar, Dr. Fani memberikan beberapa nasihat tambahan terkait pola makan dan aktivitas. Gio mendengarkan dengan cermat, memastikan setiap kata tersimpan di pikirannya.

Saat mereka berjalan keluar dari rumah sakit, Valeska menghentikan langkahnya tiba-tiba. Ia menatap Gio dengan mata berbinar dan suara yang lembut namun penuh arti, "Mau jajan, boleh?"

Gio tersenyum, lalu mengusap lembut perut Valeska yang membuncit. "Boleh, sayang. Adik mau makan apa?" tanyanya dengan senyum hangat.

Senyum Valeska semakin melebar, lebih lepas kali ini. "Mau seafood, yang di pinggir jalan, ya."

Gio tertawa kecil. "Jangan kebanyakan, ya," jawabnya, mengingatkan dengan lembut. Valeska mengangguk manis, lalu mereka melanjutkan langkah menuju mobil.

Gio membantu Valeska masuk dengan hati-hati, memastikan sabuk pengaman terpasang sempurna di sekitar perutnya. Setelah itu, ia masuk ke kursi pengemudi, menyalakan mesin, dan melirik Valeska yang kini tampak lebih bersemangat setelah mengungkapkan keinginannya.

"Seafood di pinggir jalan, ya? Kamu yakin perutnya nggak apa-apa?" tanya Gio, suaranya penuh perhatian.

Valeska tertawa pelan. "Ini kan maunya adik, pasti baik-baik aja."

Gio tersenyum tipis, meskipun jauh di dalam hatinya, rasa khawatir belum sepenuhnya pergi. "Oke, tapi jangan banyak-banyak ya," jawabnya dengan lembut.

Perjalanan mereka singkat namun dipenuhi dengan obrolan ringan tentang makanan yang diidamkan Valeska, diselingi candaan Gio yang selalu berhasil membuat Valeska tertawa. Sesampainya di tempat makan seafood sederhana di tepi jalan, aroma segar makanan laut menyambut mereka, dan suasana jalanan yang ramai memberikan kenyamanan tersendiri.

GIOVA 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang