"Ka Gioo," panggil Valeska dari ambang pintu balkon kamarnya. Suaranya terdengar lirih, namun manis, cukup untuk menarik perhatian Gio yang tengah fokus pada pekerjaannya. Pria itu menoleh perlahan, seolah ingin memastikan apa yang ia dengar. "Kenapa?" tanyanya lembut, matanya terpaku pada sosok istrinya yang tampak mungil dengan perut yang tampak membesar di bawah sinar lampu kamar.
"I want something," ucap Valeska dengan nada manja, menggoyangkan tubuhnya sedikit seperti anak kecil yang merengek.
Gio memiringkan kepalanya, tersenyum samar. "Mau apa?" tanyanya penuh kehati-hatian. Ia sudah cukup paham dengan keinginan-keinginan Valeska yang seringkali muncul tiba-tiba, terutama di jam-jam tak terduga seperti ini, hampir pukul sepuluh malam.
"Ketoprak," jawab Valeska dengan suara pelan, hampir seperti bisikan, namun cukup jelas untuk membuat Gio menghela napas panjang. Tidak ada protes keluar dari mulutnya. Ia menutup laptopnya dengan gerakan tenang, lalu berdiri tanpa sepatah kata pun.
"Kamu di rumah aja, biar aku yang beli," ucapnya, tatapannya hangat, namun tegas.
"Okeee," sahut Valeska dengan senyum lebar, kedua tangannya bertepuk pelan, merasa puas karena keinginannya dituruti.
Gio meraih hoodie yang tergantung di gantungan baju, menyelipkannya dengan gerakan santai.
Ketoprak yang dijual di dekat rumah mereka membuat Gio memutuskan untuk berjalan kaki. Lagipula, motornya tidak ada di sini. Ia menyumpalkan sepasang AirPods ke telinganya, membiarkan musik favoritnya mengalun lembut, menyamarkan suara langkahnya yang menghentak pelan di trotoar. Sesekali, ia bersenandung, mengikuti irama lagu, bibirnya melengkungkan senyum tipis.
Tak lama, gerobak ketoprak dengan lampu redupnya mulai terlihat di ujung jalan. Langkah Gio otomatis bertambah cepat, dorongan untuk segera kembali dan memenuhi keinginan Valeska membuat hatinya hangat meski malam terasa dingin.
"Pak, saya pesan ketoprak satu ya," ucap Gio ramah begitu ia sampai di depan gerobak. Suaranya terdengar jernih, cukup untuk menarik perhatian si penjual yang tengah duduk santai di bangku kecil.
"Pedes nggak, Dek?" tanya bapak-bapak penjual itu sambil mengusap tangannya dengan kain bersih.
"Sedang aja, Pak," jawab Gio singkat, namun nada suaranya tetap sopan.
"Siap, duduk dulu ya, biar Bapak bikinin dulu," balas penjual itu dengan senyum ramah, tangannya mulai bergerak cepat menyiapkan pesanan.
Gio menuruti instruksi itu, duduk di kursi kecil yang disediakan di samping gerobak. Malam terasa hening, hanya diiringi suara sendok dan piring yang beradu dari gerobak. Lima menit berlalu, dan ketoprak pesanan Gio akhirnya siap.
"Nih, Dek, pesanan kamu," ucap si penjual sambil menyerahkan sebungkus ketoprak.
"Makasih, Pak," kata Gio sembari menyodorkan uang dan menerima bungkusan hangat itu. Beruntung, gerobak itu sedang sepi malam ini, memudahkannya mendapatkan makanan yang diinginkan Valeska.
Langkahnya kembali menyusuri jalan pulang, kali ini dengan ritme yang lebih tenang. Dalam pikirannya, ia membayangkan senyum ceria Valeska yang menunggunya di rumah. Ada kebahagiaan tersendiri dalam memenuhi permintaan sederhana dari orang yang ia sayangi, meski terkadang terasa merepotkan. Sesederhana itu, tapi cukup untuk membuat malamnya terasa istimewa.
Gio tiba di depan rumah setelah berjalan kurang lebih sepuluh menit. Udara malam yang dingin tak terasa begitu menyengat berkat hoodie yang membalut tubuhnya. Ia membuka pagar dengan hati-hati, berusaha tidak membuat suara terlalu keras agar tak mengganggu. Setelah memastikan gerbang terkunci kembali, ia melangkah masuk ke dalam rumah yang memanglah sepi, hanya ada mereka berdua.
KAMU SEDANG MEMBACA
GIOVA 2
Novela JuvenilLima tahun setelah menikah, kehidupan Gio dan Valeska dihadapkan pada ujian besar. Valeska, yang hampir menyelesaikan kuliahnya, terpaksa harus mengambil cuti karena sebuah keadaan darurat yang tak terduga. Meskipun Gio semakin sukses dengan bisnisn...