11. Menembus Dingin Tanpa Udara

33 2 0
                                    

Keluh kesah di halaman belakang sekolah terus terngiang di benak. Aku melamun setelah menyirami semua bunga di balkon.

Mataku hanya tertuju pada langit malam.

"Apa Yuzi bisa kembali menjadi manusia seperti semula? Aku tidak mau dia menjadi Vampir." hela napasku resah dan gelisah.

Membayangkannya saja terlalu mengerikan. Waktu itu tubuhnya dingin dan matanya tanpa harapan. Aku bisa merasakan ketidakhadiran Yuzi di dalam jiwanya yang telah mati.

"Dia sudah mati ... dan Amari menghidupkannya kembali. Tentu saja yang mati tidak bisa hidup lagi. Temanmu sudah berada di alam lain."

Aku terjingkat tiba-tiba Rafael tersenyum di sampingku. Kenapa aku tidak menyadari kehadirannya.

Keningku pun berkerut, "Siapa itu Amari?"

Rafael ikut memandang langit, "Kau sungguh ingin tau?"

Aku mengangguk cepat.

"Dia wanita durjana yang merebut kekuasaan Raja Vampir. Kami semua memusuhinya."

Suaranya yang sayup terdengar jauh lebih pelan. Kilauan asap kelabu di matanya menerawang ke ruang hampa.

"Raja? Apa Vampir memiliki Raja?"

"Seseorang yang jauh lebih kuat dari Vampir yang lain, kami menunjuknya sebagai pemimpin para Vampir dan kami menyebutnya Raja."

"Jadi ... siapa Raja itu?"

"Ayah kami."

"Apa?!"

Rafael menoleh saat mataku terbuka lebar bahkan berhenti bernapas.

"Kau tidak memperhatikannya? Kau bodoh sekali. Nama kami bertiga berinisial R yang artinya Raja. Kami keturunan dari Raja para Vampir."

'Tidak mungkin!'

"Kalian bangsawan?!" pekikku semakin menyongsong senyumnya.

"Sekarang apa kau takut?" tangannya terlipat di pembatas balkon menggodaku.

"Meskipun kami saudara sepupu darah kami tetap sama, loh."

"A-aku hanya terkejut. Tidak kusangka status kalian begitu tinggi." suaraku gemetar.

"Bodoh!"

Angin menerpa wajahnya yang sepi.

"Katakan padaku, Alicia. Sekarang kau tau akan selalu berurusan dengan kami. Apa kau masih mau mencari kebenaran tentang temanmu?"

Suaranya mampu menghanyutkan pikiranku sejenak.

"Tentu saja! Aku harus membawa Yuzi pulang. Jika Vampir bernama Amari itu telah merebut jasadnya, aku akan menghadapinya," tanganku bertekad.

"Ahahahaha, bodoh sekali hati kalian para manusia. Tapi ... aku menyukainya."

"Ke-kenapa begitu?"

"Hei, Alicia." Rafael menoleh padaku lagi.

"Apa?"

"Ayo tidur di peti mati." senyumnya manis seperti dewa kematian.

Rafael memaksaku masuk ke kamarnya yang berada di lantai tiga.

Kamar ini sangat gelap, pengap, dan tidak ada lubang udara ataupun lampu penerangan.

"Uhukk-uhukk! Rafael, aku butuh udara. Aaaaa!"

Dia mendorongku ke sebuah peti yang berdiri terbuka dan membanting tutupnya sampai tertutup rapat.

"Rafael! Rafael, keluarkan aku! Aku tidak bisa bernapas!"

"Ahahahaha, Alicia kau lucu sekali!"

"Ayo matilah! Matilah dan jadi mainanku ayo! Aku akan akan merubahmu menjadi teman tidurku seumur hidup, hahahaha! Ayo cepat matilah, Alicia!"

"Rafael! Uhukk-uhukk! Aku ... benar-benar kehabisan napas!"

Tawanya menggila. Aku terus memukul-mukul peti itu sambil terbatuk tapi tidak didengarkan.

Sampai akhirnya kurasakan darahku berhenti memompa dan tubuhku dingin. Aku tidak menemukan oksigen lagi.

'Huh, bagus, apa sekarang aku menjemput maut? Yang sesungguhnya? Kenapa Rafael menyukai hal-hal yang berhubungan dengan kehampaan? Seperti kamar ini. Aku akan ... mati.'

"Uhukk! Uhukk-uhukk!"

Jam telah berlalu. Aku terbangun dan mencoba meraup udara sebanyak-banyaknya.

Pandanganku mengedar dan bertanya, ternyata aku ada di kamarku. Siapa yang menolongku?

Lalu, aku syok melihat Rafael duduk di tepi ranjang dengan tatapan redup khas dirinya meskipun Ruxion dan Rui juga ada di sana.

"Kenapa ... kau melakukannya padaku?" suaraku lemah dan serak.

"Aku hanya ingin membantumu keluar dari zona menyedihkan sebagai manusia. Hanya itu."

"Maksudnya kau terlalu baik. Dia tidak suka itu. Hei, bagaimana kabarmu?" Ruxion menarik wajahku tanpa menyentuhku.

"Aku sudah lebih baik."

"Bagus sekali! Sekarang beri aku darahmu. Aku ingin minum."

"Ruxion! Hentikan tingkah tidak tau malu seperti itu. Kau menakuti Alicia."

"Ck, pada dasarnya Kecoa Kecil ini memang sumber makananku."

Jantungku berdegup kencang melihat mereka berdua. Ruxion memalingkan wajahnya dengan mudah, tapi tidak dengan ambisinya, dan sekali lagi Rui telah menyelamatkanku.

"Alicia, ini obat penenang dari dokter. Minumlah setelah makan."

"Terima kasih."

Aku menerima beberapa tablet obat darinya. Kemudian, Rui pergi melalui pintu.

Jika dipikir kembali, hanya Rui yang perilakunya paling normal di antara mereka di balik sikap dinginnya.

"Rafael, jika kau menyakitinya lagi aku akan membunuh semua ternakmu!"

"Kalau begitu aku akan mengambil Alicia darimu."

"Apa?! Kau mau bertaruh denganku?!"

"Ka-kalian, tunggu!"

'Kenapa menjadi bertengkar?'

Ruxion dan Rafael terus berdebat memperebutkanku seperti kantung makanan. Sejak itu aku tidak bisa tidur sampai pagi.

Black Flower'sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang