17. Tercium Aroma Jejak Reinkarnasi Darah Murni

26 1 0
                                    

Telapak tanganku berkeringat dingin.

"Setiap dari kalian akan memburuku."

"Rui dan Ruxion menyuruhku menceritakan ini padamu."

"Ada berapa banyak Vampir di luar sana?" disertai rasa takut.

"Yang membuatku heran kenapa ada buku jelek itu? Seharusnya tidak ada sangkutannya dengan buku astronomi."

"Eve ... buku itu ... jantung itu ... tebing berkabut itu ..." suaraku semakin tak karuan.

"Oh, satu hal lagi. Satu-satunya Vampir yang berhasil meminum darah Eve adalah ... Amari." Rafael tersenyum sedih.

Rafael mengeluarkan sebotol obat penambah darah, mungkin karena melihat kondisiku yang semakin buruk.

"Alicia, kau tau kenapa kami menginginkan keabadian padahal kami bisa hidup lebih lama dari manusia?"

Aku pun menoleh kaku, "Kenapa?"

"Karena kami bisa mati jika tidak makan darah."

Rafael memaksaku meminum sebutir obat itu dengan mendorongnya masuk ke mulutku.

Rafael tersenyum lebih lebar ketika kutatap matanya.

"Kalian tetap bisa mati?"

Dia mengangguk, "Amari sanggup hidup tanpa meminum darah setelah merasakan sedikit Darah Murni, tapi dia tetap tidak bisa abadi karena Eve telah mengutuk dirinya sendiri waktu itu. Bisa dibilang Amari hanya mendapat sedikit dari khasiatnya. Makanya dia terus mengejarmu sampai merebut jasad temanmu."

"Lalu kenapa kalian bisa mengenali darahku yang sama seperti milik Eve padahal kalian tidak pernah merasakannya?"

"Gadis bodoh! Itu karena aromanya. Juga kualitas darahmu tidak dimiliki oleh siapapun. Kami pamakan darah, jangan remehkan indera perasa dan penciuman kami."

Aku tidak dapat berkutik.

"Jadi semua ini ... hanya karena darahku?"

"Benar, berterima kasihlah pada kami. Jika kau tidak bertemu Ruxion, entah bagaimana nasibmu. Kau akan tamat jika ditemukan Vampir lain. Kami di pihak pemimpin para Vampir yang ingin merebut tahta kembali. Tentu saja kami orang baik."

Aku terus mendengarkan ocehannya.

"Satu hal lagi, kami tidak akan bisa abadi setiap kali menguras darahmu. Itu karena ..."

"Eve mengutuk dirinya sendiri."

Rafael tersentak, "Oh, kau sudah mengerti rupanya."

'Berkali-kali kau mengatakannya.'

"Sampai seluruh ingatanmu pulih dan kekuatanmu bangkit kembali, kau akan sepenuhnya menjadi Eve."

Pikiranku terbelah dua. Aku harus menolong diriku sendiri dari para Vampir, atau aku harus menolong bangsa Vampir?

"Rafael, terima kasih banyak. Sampai di sini aku tau garis besarnya."

Rafael mengibaskan tangan lemas tak bertenaga.

'Dan benang merah selanjutnya adalah...'

Pandanganku menajam lurus ke depan.

"Kurasa akan terjadi peperangan besar."

~~~

Malam sudah larut. Jam besar di ruang tamu terus berdetak menunjuk ke angka dua belas.

"Di mana Ruxion? Rui juga belum pulang."

Ini pertama kalinya aku gelisah saat mereka tidak ada di rumah. Seharusnya aku merasa aman jika mereka tiada. Tapi keadaan sudah berbalik.

Kususuri halaman depan yang penuh mawar hingga ke gerbang. Semakin kuhirup aroma malam yang menyapu semua mawar, semakin ku teringat Ruxion.

Black Flower'sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang