18. Gerbang Dimensi ke Lembah Kematian

34 1 0
                                    

"Aarrgghh!"

Penyerangan tiba-tiba di sekolah. Teror darah berceceran di lantai dan beberapa siswa terbunuh dengan bekas gigitan di leher.

Semua orang bertebaran panik melarikan diri.

"Aaaa! Aaaa! Aaaa! Guru sains terbunuh di lantai dua!"

'Bahkan guru juga?!'

Apa aku bodoh?

"Minggiiirrr! Aaarrggh, jangan bunuh aku! Argh!"

Aku membeku seseorang dari kelasku mendadak jatuh dan seketika mati di depan kakiku. Dia terbunuh.

Huru hara lalu-lalang menyekap aliran oksigen di euforia. Bibirku kering layaknya serpihan cermin yang merasakan anyirnya percikan darah.

Pertama Yuzi, sekarang sudah tak terhitung lagi. Teman-teman dan guruku menjadi tumbal tak terkendali.

"Vampir!"

Cukup satu kata itu mampu mencerminkan segalanya.

Seketika sekolah berubah menjadi merah dan bayangan hitam menjadi cerminan darah.

"Ini ulah para Vampir. Mereka sudah mulai bertindak."

Dengan air mata dan perasaan campur aduk terbendung di dada, aku berlari ke gerbang mengikuti para siswa yang berlarian keluar sambil menyentuh cincin merah Ruxion.

'Ruxion, kumohon datanglah!' jeritku dalam hati.

Dia masih berurusan dengan lagunya dan seketika Ruxion muncul di depanku.

"Ada ... apa ini."

Dia berdiri kaku menahan tanganku agar tidak berlari lagi.

"Ruxion ... teror!"

Kutunjuk segala arah untuk menjelaskannya.

Mata Ruxion langsung semerah darah, "Amari!"

Penciumannya membenarkan spekulasi ku.

Seluruh lorong sekolah kami telusuri, semua tak lepas dari ceceran darah dan korban orang mati.

Saat kuperiksa semua memiliki bekas gigitan di leher.

Itu bukan ular melainkan ulah Vampir dan Ruxion tidak bisa menemukan satu pun dari mereka. Artinya mereka telah melarikan diri.

Kami berhenti di depan Ruang Kelas Seni karena baunya sangat menyengat di sana.

Kurasa itu karena pelaku tahu bahkan di ruangan itu tempat Ruxion berada.

"Setelah sekian lamanya akhirnya aku mencium bau kematian. Keluarlah! Amari! Apa maksud kemunculanmu?!"

Tangannya masih bertaut padaku. Dia terasa panas dalam suhu yang jauh lebih dingin dari es. Persis seperti pertama kali aku melihatnya.
Ruxion terlalu menakutkan.

Tiba-tiba tubuhku berat bagai tertarik pada pusat inti bumi. Gaya gravitasi bumi berubah? Dan kepalaku seperti terbelah menjadi ratusan.

'Apa yang sedang terjadi padaku?'

Ruxion melotot menggoyangkan tubuhku.

"Alicia? Alicia, kau kenapa? Sadarlah!"

Terdengar seperti perintah. Namun, aku sudah tidak tahan lagi. Mataku pun terpejam dan aku melihat sebuah cahaya, jantung, kabut, dan tebing.

"Haaaahhh!"

Aku tersadar dan menghirup udara banyak-banyak. Napasku tersenggal-senggal yang kulihat hanyalah wajah kejam Ruxion.

"Jangan membuatku ingin membunuhmu."

Meskipun begitu aku tidak bisa berpaling darinya.

"Ruxion, Amari tidak bisa dibunuh karena dia tidak memiliki jantung."

Black Flower'sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang