29. Tipuan Hati Vampir

30 1 0
                                    

'Pertanyaan itu bagaimana aku menjawabnya?'

"Eee, karena ...," aku bingung.

"Kau benar-benar seorang agen rahasia yang mengetahui semua yang sedang terjadi di kota?"

Levi tidak bercanda dengan ucapannya. Sedalam itu kah dia menafsirkan maksudku.

"Tentu saja bukan!"

Tiba-tiba batu sandungan tak kasat mata menghambat kaki sampai aku hampir terjungkal. Mataku terbelalak, mereka bertiga turun dari langit bersama guntur yang menggelegar dan menghadang jalan kami.

'Ruxion?! Rui?! Rafael?! Kenapa muncul di saat begini?!' hatiku menjerit.

Bagaimana tanggapan Levi. Apa dia terkejut?

'Astaga wajahnya pucat dengan mulut menganga.'

"Si-siapa kalian?" Levi menunjuk mereka.

'Gawat! Apa Ruxion marah? Ekspresinya tidak bisa dibaca.'

Tanpa sadar aku menggenggam pedang tulangku erat.

Angin meniup setiap helai rambut kami semakin kencang. Lalu, air rintik-rintik mulai datang.

"Hujan?"

Aku mendongak, refleks Levi menengadahkan tangannya membendung hujan di atasku.

"Ayo kembali ke rumah. Halte masih jauh, kita akan basah kuyup jika menerobos."

Ucapannya ada benarnya juga, tapi bagaimana dengan mereka.

"Alicia, ayo kita pulang," nada dalam penuh perintah Ruxion telah keluar.

Tubuhku seperti mati rasa mendengarnya.

"Kau gila? Siapa kalian? Kenapa tiba-tiba muncul entah dari mana. Bicaranya nanti saja yang penting kita cari tempat berteduh dulu."

Levi menarikku, tetapi Ruxion juga menarikku. Dia dan Levi saling beradu pandang. Kami sudah basah kuyup.

"Ohh, drama apa ini?" Rafael berbicara.

Rui menatapku lalu melepaskan genggaman Ruxion padaku. Namun, Ruxion tetap enggan. Dia justru semakin bersikeras.

'Situasi macam apa sekarang? Ruxion, kumohon jangan membuat ulah. Jika Levi curiga pada kalian bagaimana?' hatiku takut.

Lantas Rui memegang lengan Levi dan Ruxion.

"Tuan, terima kasih atas segalanya, tetapi kami akan membawa Alicia kembali. Tenang saja, kami membawa kendaraan. Mobil tidak akan membiarkannya kehujanan, bukan?"

Tutur kata Rui membuat kedua alis Levi terangkat.

"Alicia, kau tinggal bersama mereka?" tanyanya bingung.

Aku tidak punya pilihan lain selain mengangguk dan dia menghela napas panjang.

"Pantas saja kau enggan kuantar pulang. Ternyata ada tiga pangeran tampan bersamamu. Kenapa tidak bilang?"

Terdengar luruh seperti hujan. Apa dia sedih. Tangannya perlahan melepaskanku dan Ruxion langsung menarikku.

Dia tersenyum.

"Baiklah, hati-hati di jalan, Alicia. Entah mengapa ... rasanya seperti perpisahan. Aku ingin mendengar alasanmu kenapa bisa tinggal bersama mereka. Ada apa dengan rumah lamamu? Apa yang telah terjadi?"

Levi menggeleng sendu.

"Le-Levi aku akan mengabarimu nanti. Tolong jangan berpikir yang bukan-bukan, ya. Tapi sekarang aku harus pulang."

'Hanya itu yang bisa kukatakan.'

Dia tersenyum lagi.

"Hmm, aku pasti akan menunggu pesanmu. Sampai jumpa, Alicia!"

Dia berlari dan melambaikan tangan padaku sampai punggungnya tak terlihat lagi di mataku.

Jejak kakinya membekas dan terhapus hujan.

Aku menunduk luruh.

"Ayo kita pulang."

Tak kusangka mereka benar-benar menyiapkan mobil. Ini mobil Ruxion yang digunakan untuk pamer setiap kali dia di depan fans-nya.

Di dalam begitu sunyi dan lembab. Rui yang menyetir, Rafael di sampingnya, dan aku duduk di belakang bersama Ruxion.

"Ini pedangnya. Dia bersinar seperti emas, bukan seperti saat terkena sinar rembulan. Eh, kenapa cahayanya menghilang? Tadi benar-benar bersinar di rumah Levi."

Kubuka bingkisan pedang tulang dan mereka menyaksikan. Ruxion segera merebut pedang itu dan mengamati secara menyeluruh.

"Kami tau, kami ada di sana sejak awal."

Aku tidak terkejut dengan itu.

"Tapi kenapa cahayanya menghilang?" tanya Rafael.

"Itu karena cahaya serpihan debu emas hilang beberapa saat setelah ditempa. Dia bukan cahaya aslinya. Pedang ini akan aktif saat terkena darah dan berada di bawah bulan merah. Hanya saja kekuatannya meningkat sekarang. Dia sudah kuat, bukan lagi sekadar tulang yang mudah dipatahkan," jelas Rui.

'Oh, jadi begitu.'

"Kau benar!"

Ruxion mengayunkan pedangnya. Aku mendelik takut, bagaimana kalau mengenaiku.

"Temanmu itu bisa berguna juga rupanya," kata Ruxion.

Aku mengerjap perlahan.

"Eee, bagaimana dengan identitasnya? Dia ... manusia, 'kan?" harapanku tinggi.

Ruxion dan yang lain menatapmu sekilas, tetapi sangat dalam.

"Aku tidak tau karena dia terlihat seperti manusia lemah. Tapi Vampir yang kemarin pandai menutup jati dirinya sehingga tidak bisa dilacak oleh panca indera kami. Mungkin dia seperti manusia, tapi belum tentu juga seorang manusia."

Napasku tertahan, "Kalian curiga dia Vampir?"

Tak ragu-ragu mereka mengangguk. Seketika napasku menjadi cepat.

"Bagaimana ... bagaimana itu mungkin. Melihat kalian saja dia kebingungan. Apa hanya sandiwara?" suaraku bergetar.

"Bisa saja temanmu itu menyamarkan jati dirinya sejak kecil, Alicia. Dia telah menipu semua orang kalau sebenarnya dia adalah Vampir. Sangat pandai bermain peran." Rafael tersenyum tipis.

"Tidak mungkin!" kubekap mulutku sendiri.

Mungkin karena kasihan Rui menatapku dari kaca kecil di atasnya.

"Tunggu saja sampai waktunya tepat. Biar waktu yang menjawab kebenarannya."

Tetap saja hatiku tidak tenang.

Ruxion berdecak memberikan pedang itu lagi padaku dan dia melamun menatap ke luar jendela tanpa bicara.

Kurasa suasana hatinya sedang tidak nyaman.

Black Flower'sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang