36. Malam Bulan Purnama

28 1 0
                                    

"Aarrgghhhh!"

Kutarik pedangku cepat dan membawa pergi ketiga bangsawan Vampir ke lingkaran teleportasi. Kami menghilang meninggalkan banyak tanya bagi mereka.

Levi berdecak dan mengembalikan aturan waktu seperti semula. Ketika langit kembali, hari sudah petang.

Dia kebingungan dengan segala aspek di sekitarnya.

Menatap langit seiring para Vampir bangkit.

"Amari ... kami telah gagal membawa Eve. Gadis itu berada di pihak Ruxion sepenuhnya."

Lantas di mana aku. Kukembalikan mereka semua ke istana Black Flower's, rumah Ruxion.

"Uhukk-uhukk!"

Tali pengikat terbuka, mereka langsung ambruk di lantai ruang tamu yang sudah tak beraturan. Para Vampir itu benar-benar memporak-porandakan segalanya.

"Ka-kalian tidak apa-apa?"

Cahaya di tubuhku menghilang. Ruxion menggeleng dan mendongak menatapku kebingungan.

"Kau ... Alicia?"

Aku mengangguk lesu. Mereka sangat letih bahkan menerima beberapa pukulan.

'Dalam kekuatan mereka yang lebih tinggi dibanding mereka, tapi tetap kalah jumlah. Tak heran mereka terluka.'

"Apa yang telah terjadi? Aku mendengar pesanmu dari buku astronomi, sejak itu kalian berkelahi?"

Ruxion mengangguk, dia memegang tanganku kuat.

"Kau Alicia atau Eve?"

Matanya menajam sekaligus lemah.

"Aku adalah keduanya, tapi aku bisa mengendalikannya. Sekarang di hadapanmu aku adalah Alicia, tapi jiwa Eve tetap ada."

Ruxion bernapas luruh, lalu Rui terbatuk. Dia yang terluka terlalu parah.

"Ba-bagaimana bisa? Bagaimana caramu melakukannya di dunia kecilmu?"

Rui tidak sanggup bicara dan menekan dadanya.

Aku dan Ruxion memeganginya panik.

"Berhenti bicara. Rafael, tolong bawa pasokan darahmu. Berikan semuanya pada Rui."

Rafael terkejut, "Tapi jika itu habis kami tidak punya cadangan lagi."

"Tidak masalah, selanjutnya biar aku yang menghadapi."

Rafael mengangguk dan dalam sekali jentikan jari sebuah peti mati berisi penuh botol-botol darah muncul.

Rui meminum semuanya hingga habis tak tersisa. Lalu, bagaimana dengan Ruxion dan Rafael.

Sringg!

"Alicia, apa yang kau lakukan?"

"Bodoh! Apa yang kau lakukan?!"

Kugores lenganku dengan pedang tulang, akibatnya napas mereka seolah terhenti.

Kumasukkan setiap tetes darah merahku yang mengalir segar ke dalam wadah kosong.

"Tenang saja, kali ini aku hanya Alicia manusia biasa, kalian tidak akan bisa abadi dengan darah ini. Minumlah!"

Aku tahu Ruxion dan Rafael cukup tertegun dengan sikapku. Namun, sekarang inilah yang bisa kulakukan. Aku tidak ingin mereka mati kelelahan. Aku juga tahu bahwa mereka tidak akan mengambil keuntungan dariku dalam kondisi seperti sekarang.

"Tunggu apa lagi? Cepat habiskan sebelum Amari dan pasukannya datang. Mereka pasti akan mengejar tidak lama lagi."

Aku hanya mendapat sebotol darahku. Seharusnya itu cukup untuk berdua.

Tak ragu lagi Ruxion dan Rafael meminumnya. Kurasa mereka akan segera membaik.

Aku berdiri memandang pintu yang terbuka.

"Jika mereka tidak datang, aku sendiri yang akan datang."

Ruxion segera bangkit menahanku.

"Aku tidak akan membiarkanmu pergi sendirian," suaranya sangat berat dan dalam.

Tak urung itu tetap membuat dadaku gusar. Namun...

"Tubuh temanku masih di tangannya. Aku akan merebutnya sendiri."

"Ayahku juga dalam tahanannya. Aku yang akan membebaskannya. Kau hanya akan menjadi alatku saja."

"Kumohon pikirkanlah keselamatan kalian. Meskipun kalian kuat, dalam jumlah mereka kalian kalah telak. Jika kalian bertarung sampai titik darah penghabisan, aku tidak akan sanggup menghadapi kenyataan ini."

Ruxion terdiam sejenak.

"Kau yang membawaku kemari, Ruxion. Jika kau terluka, aku harus berada di mana?" lanjutku.

Genggaman tangan Ruxion semakin kuat sebagai jawaban. Matanya yang merah terasa begitu hangat, tidak lagi membara seperti beberapa saat lalu.

Rui dan Rafael ikut berdiri.

"Kau ... mengkhawatirkan kami?" tanya Ruxion.

Aku tersenyum sendu, "Dasar payah. Sudah memenjarakanku selama ini masih tidak mengerti juga?"

Rafael dan Rui tersenyum senang.

"Karena kami telah memanfaatkanmu, tapi hatimu terlalu baik. Kau bisa saja lari dengan kemampuan Eve, tapi kau justru memilih melibatkan diri dengan kami," kata Rafael.

"Dan juga menderita. Yuzi, Levi, kedua temanmu memiliki takdir yang tidak terduga. Kau tetap menerimanya," kata Rui.

Kulihat Ruxion masih menatapku, wajahku berpaling karena panas.

Malam pun datang, tidak ada tanda-tanda penyergapan. Namun, aku sudah tidak bisa menunggu lebih lama.

"Aku akan pergi ke jurang tak berdasar. Amari akan menebus dosa-dosanya."

Suaraku menjadi berat dan tubuhku kembali bercahaya. Aku merasakan aura Eve mengalir ke setiap nadiku.

Cahaya bulan menyinari setiap mawar merah di halaman depan. Pedang tulang merasakan sesuatu.

"Jadi ... sekarang bulan purnama."

Kami terdiam terpukau oleh pesona bulan dengan langit setenang mata Rui.

"Inilah saatnya."

'Gerhana bulan merah akan terjadi malam ini. Tinggal menunggu waktu, akan ada banyak darah yang harus dikorbankan untuk ditumpahkan pada lautan tanah merah, sehingga ...'

Aku membuka terowongan teleportasi ke jurang paling tinggi yang tak berdasar, tempat jantung Amari berada. Itu adalah lahan pertempuran besar.

Setibanya di sana, ribuan Vampir dari berbagai kalangan berkumpul di sana dalam otoritas Amari yang jahat. Mereka siap untuk berperang.

Tahta itu terlihat, kabut-kabut awan mulai memudar saat pemimpin mereka datang.

Telingaku terbuka, mataku menajam, suara langkah kaki dan aura hitam ini jelas-jelas sama persis dengan ingatan terakhirku.

"Amari!"

Tepat kala bibirku berdesis wanita itu tepat berada di depanku.

Namun, dia terpental bahkan sebelum tersenyum hanya karena terkena cahaya yang mengelilingi tubuhku.

'Dia cantik dan menakutkan.'

Gigi taringnya muncul kemudian tersenyum, tetapi matanya tetap setajam duri bunga.

"Reinkarnasi Eve, akhirnya kita bertemu juga."

Seluruh tubuh Amari dikuasai oleh keinginan jahat. Aura itu memadati euforia seolah menghipnotis semua Vampir.

"Aarrgghh! Bersiaplah untuk mati!"

Black Flower'sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang