30. Ilusi

11 0 0
                                    

Hujan terus menerjang tanpa ingat waktu. Kami masih di dalam mobil. Jalanan kota penuh lampu menjadi eksentrik tersendiri.

"Kapan hujannya akan berhenti," lidahku berceloteh sendiri.

'Jika begini terus, apa gerhana bulan merah masih bisa terjadi?'

Ruxion sedang mengulik sesuatu, Rui dan Rafael juga nampak memikirkan sesuatu, aku sendiri pun sedang memikirkan segalanya.

Terakhir kali bulan hampir sempurna.

'Kurasa sebentar lagi akan tiba.'

Untuk memulai dan mengakhiri semuanya.

Kami sampai di Black Flower's. Namun, begitu keluar dari mobil, ada ratusan orang juga wartawan menyerbu kami sampai tidak bisa masuk.

"Ruxion, Ruxion, kami dengar kalian akan merilis lagu baru. Apa itu benar?"

"Aaa, sang Bunga Hitam kau tampan sekali! Meskipun hujan deras gelap gulita begini kau yang paling menawan dan makin tampaaannn!"

"Kapan lagu baru kalian dirilis? Bisa ceritakan sedikit tentang intisarinya?"

"Makna yang mendalam! Makna yang mendalam! Aaaa, aku tidak sabar mendengarnya! Nyanyilah sedikit untuk kami, Black Flower, kumohon!"

Kami didorong sampai menabrak gerbang. Semua hanya tertuju pada Ruxion dan sejak kapan Vampir itu merubah ekspresinya menjadi idola yang berkilau dengan senyum percaya dirinya sedangkan Rui dan Rafael terlihat santai-santai saja. Hanya aku yang yang seolah menghilang dari dunia.

'Yang benar saja di situasi seperti iniiiii?!'

~~~

Mandi adalah satu-satunya cara untuk memenangkan diri.

"Hahh, berendam air panas memang yang terbaik."

Ku tenggelamkan diri ke dalam hangatnya air.

"Para fans band Ruxion sangat gila. Dari cara mereka menanggapinya pasti hal seperti ini sudah biasa bagi mereka. Tapi kenapa harus rela diterjang hujan malam-malam begini? Apa tidak bisa jumpa pers besok hari?"

Lalu aku sadar.

'Astaga! Kenapa aku terdengar seperti sedang kesal?'

Kututup mulutku tak sadar.

"Uh, huh, kau cemburu?"

Byur!

Tiba-tiba Rafael muncul mencipratiku dengan air di bak mandi ku.

"Aaaa! Keluar! Sejak kapan kau masuk?!"

Aku menutupi tubuhku. Rafael justru tersenyum.

"Haha, itu salahmu karena membuat Ruxion cemburu. Sekarang kau merasakannya? Dia punya penggemar cantik lebih banyak di luaran sana."

Aku tercengang dengan apa yang dia katakan.

"Ce-cemburu?"

Seketika aku ingat tentang reaksinya.

'Ah, jangan-jangan ... dengan Levi?'

Kala itu dia tidak melepaskan tanganku seolah aku barang yang tidak boleh direbut siapapun.

Aku menggeleng tidak yakin.

'Tidak mungkin, itu pasti tidak benar, kenapa aku jadi mengada-ada.'

"Hahh, melelahkan sekali." Rafael menghapus senyumnya kemudian menatapku.

"Tadinya aku ingin menghisap darahmu, tetapi melihat kalian aku jadi tidak bernafsu lagi."

Rafael berdiri tanpa melepas manik kelabu untukku. Dalam sekejap mata dia sudah menghilang.

Aku tidak tahu dia datang hanya untuk menggodaku.

Waktu kembali berjalan cepat. Ini tengah malam.

Aku berbaring di ranjangku. Tidak ada lagi gangguan. Aku hanya ingin tidur nyenyak.

Kabut tebal menyelimuti ruang. Atmosfer dingin menembus jalan hujan. Setiap kali ku melangkah awan-awan itu membasahi wajah.

Aku berhenti sejenak.

'Apa ini? Alam mimpi?'

Sekeliling hanya buram bagaikan kertas kosong.

"Di mana aku?"

Aku terus berjalan mencari jalan keluar, tapi aku melihat sesuatu.

"Siapa di sana?"

Sebuah gerombolan manusia bermata merah. Perlahan-lahan awan mulai memudar dan menajamkan pandangan.

Mereka mendengarku dan berbalik melihatku.

"Hah?! Vampir!"

Mereka semua memiliki taring yang haus darah.

Aku mundur, mundur, dan terus mundur kemudian lari tapi mereka mengejarku.

"Tolong! Seseorang tolong aku!"

Mereka mengejar begitu ganas. Aku tersandung kakiku sendiri kemudian bangkit kembali berlari.

Apa sungguh tidak ada yang bisa kulakukan bahkan di mimpiku sendiri.

Ketakutanku yang sebenarnya muncul. Para bangsa Vampir mengejarku tanpa ampun meski ku berlari sampai ke ujung dunia. Mereka hanya mengincar darahku, setelah itu aku mati.

"Tidak! Tidak jangan mendekat! Tidaaakkk!"

Napasku terengah, keringat dingin bercucuran, bayangan Vampir masih menghantui di dinding-dinding kamar.

Aku tersadar.

"Mereka ... bahkan mulai mengincarku ke dalam mimpi."

~~~

Pagi yang lembab dan takdir yang tidak pasti. Baru aku membuka pintu kamar tiba-tiba dihadirkan sebuah ilusi. Seluruh isi rumah berubah menjadi jurang curam yang penuh awan gelap, menguarkan aura seram, teror kematian menyeruak di mana-mana.

"Apa ... sekarang?"

Ruxion dan yang lainnya tidak ada. Saat aku melangkah tidak ada pijakan. Aku hampir terperosok ke jurang tanpa dasar itu.

"Ahh!"

Jantungku hampir copot. Aku memegang pintu lebih kuat. Kulihat lagi sekeliling ternyata kamarku adalah puncak jurangnya.

'Bagaimana bisa?!'

"Si-siapa yang bermain denganku? Tolong cepat hilangkan ilusinya!"

Percuma saja berteriak. Hanya ada aku seorang diri. Aku tahu ini pasti perbuatan Vampir yang mengincarku.

Kuatur napas sedemikian rupa hingga aku merasa tenang dan tanganku terkepal.

"Baik! Jika ini jalanku, aku harus melawan!"

Kuambil pedang tulang dengan gagah berani.

"Aku bukan lagi Alicia yang lemah!"

Kupotong udara bagai memotong kehampaan di dunia ini sehingga ilusi itu memudar dengan sendirinya.

Lalu, rumah Ruxion kembali terlihat seperti semula.

Tanganku gemetar tanpa melepaskan pedang tulang.

"Siapa ... yang di balik semua ini?"

Black Flower'sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang