Tidak, ini berbeda dengan yang waktu itu. Aku menginjak hamparan tanah luas nan gersang, bukan tebing tinggi di bawah bulan purnama.
'Sinarnya, aku tidak bisa melihat cahaya langit. Aku di bawa ke mana? Buku itu! Ke mana bukunya?'
Kuraba tanah sekitar, hanya batu kerikil yang kutemukan, mungkin buku tersebut tertinggal di perpustakaan.
"Aku harus segera menemukan jalan keluar. Ruxion pasti menungguku."
Seluruh mata angin kutelusuri hingga meninggalkan jejak kaki. Namun, perbuatanku sia-sia.
Tiba-tiba, turun hujan air berwarna merah. Sedikit demi sedikit menjadi gerimis tak berkesudahan membasahi semua yang ada.
"Aaaarrrggghhh!"
Bau anyir di mana-mana. Kututup telinga, kupeluk tubuhku erat, berjongkok tanpa perlindungan.
Fenomena aneh apa ini.
"Langit terguncang bercampur darah."
"Siapa? Siapa yang bicara?"
Suara itu berdengung ke segala arah. Kupandang langit tak berani karena hujan darah ini terlalu mematikan semua panca inderaku. Aku tidak mau tidak sengaja meminumnya.
"Sejak dulu peperangan tak bisa terhindarkan. Ambisi menggelapkan hati dan kekuasaan memusnahkan jati diri."
Semakin lama semakin bergema. Hatiku bahkan ikut berirama. Iringan gerimis ini menjadi musik menyakitkan.
"Siapa? Apa yang kau bicarakan?"
Terus mendayu menusuk kalbu. Jantungku terketuk akan sesuatu. Suara ini belum pernah kudengar sebelumnya.
"Kau ... Eve?"
"Aku adalah dirimu ... dan kau adalah diriku, Eve."
Aku mundur tersentak.
"Tidak ... Apa maksudmu?" aku menggeleng pelan setengah tak percaya.
"Waktu akan menjawab semuanya."
Itu menambah kerut di dahiku. Andai saja aku bisa melihat wujudnya.
"Bawa pedang tulang ini bersamamu. Hanya kau yang bisa memperbaiki segalanya. Hanya kau yang bisa menaruh cahaya ke dalam jurang kegelapan. Hanya kau yang bisa meruntuhkan kekacauan ini!"
Mendadak langit berputar menggerus awan membuat hujannya semakin deras dan suara itu pun menghilang.
"Aarrgghh! Tidak, jangan pergi! Di mana kau, Eve? Jangan tinggalkan aku! Aku membutuhkanmu! Eve, kembalilah!"
Kemudian hujannya berhenti.
Air merah yang menggenang di kakiku membuatku ingin muntah, tetapi perlahan-lahan kurasakan mereka bergerak dan berkumpul di satu titik hingga tanah kembali kering terlihat. Lalu saat airnya hilang, di titik itu terdapat sesuatu.
Kuhampiri benda berkilau itu. Mataku tidak buta. Semua darah ini berubah menjadi tulang. Aku pun mengambilnya.
Aku takjub dalam diam.
"Ini sebuah pedang."
Tanganku gemetar hanya karena memegangnya. Pedang yang sangat tajam.
Setelah itu aku keluar dari belenggu hujan darah di tanah peperangan itu dan aku jatuh ke tangan Ruxion. Dia benar-benar menungguku di sana.
Lalu, aku muntah dengan penampilan berlumuran darah sekujur badan.
Kemudian, aku paham jika perjalanan tadi memberiku bantuan besar.
~~~
Di teras rumah Ruxion, aku dengan keadaan bersih memegang pedang tulang di hadapan mereka bertiga, tetapi rasanya masih ada magma yang bergejolak di perutku.
"Ini ... Eve sendiri yang memberikannya padaku. Dengan cara yang aneh." aku mual.
Rui menatapku heran dan Rafael menaikkan alisnya.
"Alicia, kau hamil?"
Seketika aku menelan ludahku telak.
"Kau mual terus. Kamu menghina kami? Apa kami tercium menjijikkan?" Rui merasa tersinggung.
"Eee, bu-bukan begitu."
Aku setengah mati kesulitan menjelaskannya. Lalu, Ruxion menghela napas panjang dan menjelaskan segalanya.
"Aku menemukan ini di rak. Benda ini melayang ke buku astronomi dan membuat Alicia keluar kembali."
Aku terkejut melihat benda itu.
"Pembatas buku?"
Ruxion juga mengeluarkan bukuku.
"Kurasa sebenarnya pembatas ini adalah bagian dari buku astronomi yang jatuh tertinggal saat Kecoa Kecil mengambilnya."
Rui menaikkan kacamatanya.
"Jadi begitu. Alicia, kau telah melakukan hal yang sulit."
Rafael mengangguk, "Buku sebagai pintu pendorong dan pembatasnya sebagai pintu keluar. Kurasa Eve memang menciptakannya sebagai acuan untuk reinkarnasinya. Karena dia tahu manusia sangat rapuh dan bodoh. Kedua benda ini bisa membantu memulihkan kondisi Eve seutuhnya satu demi satu."
Aku pun sependapat dengan Rafael.
'Meskipun begitu, aku masih tidak percaya bisa berbicara sendiri dengan Eve. Dia terdengar ... lembut, kuat, sekaligus rapuh di waktu yang bersamaan. Apa hujan darah barusan mencerminkan kondisi perang sebelumnya? Rasanya aku bisa melihat jauh ke masa lalu karenanya.' pikiranku melayang.
"Benar-benar tulang yang berubah menjadi pedang. Semua ambisi kejahatan tertanam di sini. Mengapa Eve memberikannya padamu? Apa bisa dipakai?"
Rui mengambil pedangnya. Ruxion hanya melipat tangan di dada tak berekspresi, sedangkan Rafael ikut menyentuh dan merasakan sensasinya.
"Ahaha, benar! Aku merasa kembali ke masa silam hanya dengan menyentuhnya. Alicia, apa yang harus kita lakukan dengan pedang mudah patah ini?"
Aku tidak bisa berkedip.
'Dia sarkasme padaku, aku mana tau jawabannya.'
"Kurasa kita harus membuatnya kuat."
Rui membawanya ke halaman dan mencoba menebas beberapa mawar, tetapi sehelai kelopak bunga pun tidak bisa dijatuhkan.
'Apa? Sepayah itu kah pedangnya? Padahal cukup tajam sebagai ukuran tulang.'
Memang tidak bisa diharapkan. Bagaimana juga itu bukanlah besi.
Tidak ada angin kencang malam ini, tetapi awan menepi memunculkan cahaya rembulan yang hampir sempurna.
"Wah! Cahaya bulan!"
Itu sangat terang membuatku menghampiri Rui. Lalu, Ruxion dan Rafael juga ikut dan menatap langit.
"Aku suka kegelapan malam yang indah. Membuatku ingin tidur selamanya." Rafael tersenyum.
Ruxion terus menatap bulan.
"Aku lapar."
Seketika aku menjauh.
"Jangan gigit aku."
"Ck, siapa yang mau meminum darah mualmu itu." Ruxion melirikku kesal.
'Huft, artinya aku aman sampai mental dan ragaku pulih. Namun, ada apa dengan ekspresi Ruxion? Diamnya sangat aneh semenjak kembali dari sekolah.'
Aku terus memperhatikannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Black Flower's
VampireTerjerat dalam cinta kegelapan dunia Vampir. Alicia Fexiber : "I told you to run! It's not a safe world anymore. Vampires will bite your life."