16. Eve

25 1 0
                                    

Reaksi yang kudapat tidak pernah kupikirkan. Mereka seperti menahan gejolak lahar panas di balik mata merahnya.

"Jantung itu bergerak, terus berdetak di suatu tempat. Aku tidak bisa melihatnya dengan jelas. Di sana berkabut, dingin, dan terjadi begitu singkat. Maafkan aku."

Jujur saja, organ dalamku lebih gemetar daripada mereka, apalagi ketika melihat jantung itu. Hanya saja aku tidak ingin mereka tahu.

Sekarang apa yang mereka pikirkan?

Rafael memudarkan ketegangannya lebih dulu. Dia kembali tenang setenang mendung.

"Alicia, sepertinya kau memang orang yang tepat selama ini."

Ruxion juga berhenti tegang.

"Baguslah jika kau bisa berguna bersama buku ini. Tapi apa kau tau, Kecoa Kecil?"

'Senyum seringaian itu...'

"Apa?"

"Kami tidak bisa membaca satu kata pun di sana." Ruxion kian menyeringai.

"Apa?!" kubekap mulutku sendiri. Mungkin suaraku bisa terdengar ke luar ruangan.

Rui membuka buku itu dengan tangan kosong. Sejak kapan dia melepas sapu tangannya.

"Ruxion benar. Semua halaman ini kosong. Artinya hanya kau yang bisa menerjemahkannya untuk kami."

"Ini aneh! Bagaimana bisa seperti itu? Padahal hanya buku biasa dari perpustakaan sekolah."

"Itu dia pertanyaannya. Kenapa buku biasa ini ada di perpustakaan sekolah." kacamata Rui memantulkan cahaya.

Jantungku berdebar dua kali lebih cepat sekarang.

'Kini semuanya menjadi misteri. Dan aku menjadi sumber jawaban mereka? Apa yang bisa kulakukan?'

Hari telah petang. Waktu berlarut begitu cepat. Aku masih harus menenangkan diri di kamar sejak kembali.

Ruxion bilang dia sibuk dengan band-nya yang akan merilis lagu baru. Rafael kembali sebentar untuk mengurus peternakannya dan Rui masih ada hal yang perlu dikerjakan.

Aku tidak bisa tidur. Aku hanya bersandar kepala ranjang sambil memandang jendela memikirkan segalanya.

"Keluarga ini sangat sibuk di balik prioritas mereka sebagai Vampir."

Aku kesepian? Kurasa aku hanya menginginkan kebenaran. Kegundahan di hati ini tidak benar.

"Eve?"

Bunyi ketukan pintu terdengar tepat setelah aku bergumam.

"Siapa?"

Pintu pun terbuka dan senyum lemah Rafael terlihat.

"Ra-Rafael?"

'Kenapa dia menggunakan pintu?'

"Aku tau kau bertanya-tanya soal sikapku barusan. Aku hanya menirunya dari Rui supaya kau tidak terkejut, hahaha."

Dia mendekat. Aku tertawa kaku.

"Bukankah kau sedang mengurus ternak?"

"Oh, hanya memberi mereka makan, aku sedang tidak ingin bermain dengan mereka." Rafael asal duduk di tepi ranjang ku.

"Be-begitu? Lalu ...," ucapanku menggantung. Rafael semakin tersenyum seolah bisa membaca pikiranku.

"Aku akan memberitahumu tentang Eve."

Kurasa darahku menderas.

"E-Eve..."

"Ya, Eve. Dia adalah Dewi Kehidupan bagi bangsa Vampir. Dia cantik, menawan, cerdas, pemberani, dan kuat. Sangat kuat dari yang terkuat. Dia juga memiliki darah yang paling lezat di dunia, haha. Ahahaha!"

Aku melongo.

'Terdengar begitu sempurna. Apa Rafael berbohong padaku?'

"Ratusan tahu silam, Eve dipuja bagaikan Dewi. Namun, darahnya membawa malapetaka dahsyat sehingga mendorong para Vampir jatuh ke dalam kegelapan."

"Ra-ratusan tahun yang lalu?" kagetku.

Rafael tersenyum, "Kau pikir berapa usia kami?"

Kubekap mulutku tak percaya.

'Setua itu kah mereka. Kupikir kami sepantaran.'

Sekarang aku mengerti mengapa mereka bersikap abnormal. Itu karena mereka telah melewati banyak kehidupan.

"Eve sangat tangguh dan tidak terkalahkan. Dia memiliki kekuatan supranatural yang tidak bisa ditandingi Vampir manapun bahkan Raja sekalipun. Dia mampu memberi kutukan dan melihat masa depan. Ramalannya sangat akurat, tidak pernah meleset. Dan dia tahu jika tanah akan mengering dan bulan purnama berubah merah. Perselisihan pun terjadi. Perang itu dipicu oleh hasrat tanpa akhir sehingga membawa mimpi buruk bagi generasi berikutnya."

'Rafael ... menatap langit-langit?'

"Alicia, kau adalah Eve. Eve kami bangsa para Vampir. Darahmu adalah darah langka yang dikabarkan telah hilang dari segala penjuru bumi. Darah itu disebut Darah Murni dan hanya dimiliki oleh satu seorang yaitu Eve. Tidak salah lagi, kau adalah reinkarnasi Eve!"

Aku ternganga kala Rafael berseru tajam.

"Hanya dengan meminum sedikit Darah Murni, sudah mampu merubah Vampir menjadi hidup abadi." Rafael mengepalkan tangan.

"Apa?! Abadi?! Mustahil!" pekikku melengking.

Rafael menatapku, "Dan sejak dulu, immortal adalah ambisi setiap Vampir. Eve diburu hanya untuk direbut darahnya. Perang membuat klan Vampir terpecah belah dan tenggelam dalam jurang hitam, namun tidak menghilangkan ambisi kami untuk merebut Darah Murni. Hanya demi setetes darah itu, Eve harus mati. Ketika dia jatuh, dia meramalkan kematiannya sendiri dan menyegel kemampuannya sendiri agar darahnya hilang fungsi, agar bangsa Vampir keluar dari belenggu, agar semuanya kembali normal Eve harus mengorbankan dirinya. Dia mati setelah menyegel kekuatannya dan mengutuk dirinya sendiri dengan kelak dia akan bereinkarnasi menjadi manusia biasa dengan darah normal tanpa kekuatan. Kutukan itu masih terngiang di sejarah para Vampir hingga sekarang. Dan kurasa sekarang sudah waktunya ... Darah Murni muncul kembali."

Sekujur badanku gemetar mendengar kisah Eve. Telapak tanganku berkeringat karena ritme jantung yang juga berubah.

"Tidak! Tidak mungkin! Ini pasti tidak mungkin!"

Sorot kelabu Rafael berkedip sepelan angin semu.

"Kau harus mempercayainya, Alicia. Kau adalah Eve. Inilah takdirmu. Kau tidak akan bisa lari dari kenyataan pahit."

Black Flower'sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang