38. War of Blood

18 0 0
                                    

Amari meletupkan serangannya dan pasukan Vampir menyerbu menggila. Aku harus membasahi pedangku dengan semua darah mereka.

"Hiyyyaaaaaaa!!!"

"Aaarrggh!"

Ruxion, Rui, dan Rafael berpencar. Mereka menyerang membabi-buta.

Tanpa basa-basi kubuka jalan dari ujung hingga tengah dengan pedang. Seketika darah dari pinggang mereka mengucur deras tergores ujung pedang sekaligus. Pedang tulang pun bermandikan darah.

Namun, mereka tidak goyah. Mereka justru menggila mengepungku ingin menggigitku.

"Immortal! Immortal! Immortal!"

Hanya kata keabadian yang mereka serukan. Aku bisa saja membasahi mereka dengan sekali serangan, tetapi sihir tidak diperlukan. Mereka harus mati di bawah pedang tulang.

Daratan tebing penuh rerumputan ini mulai memerah. Di mana Amari dan Levi, aku tidak bisa melihatnya.

"Alicia, aku akan mengejar Amari!"

Ruxion berseru dan tiba-tiba menghilang setelah membuka jalan udara dengan formasi yang dia miliki dan dengan formasi itu juga beberapa dari Vampir terbunuh. Seperti cacing yang mudah diinjak.

"Aku akan menemanimu." Rui begitu serius dengan beberapa Vampir kelas rendah.

"Jangan khawatir, Eve. Ini menyenangkan, ahaha! Ahahahahaha! Ayo kemarilah kalian. Matilah kalian semua!"

Rafael tertawa seiring menusuk setiap jantung Vampir hingga tangannya bermandikan darah dan dia sangat bahagia. Pisau tajam itu terikat dengan peti mati di belakang tubuhnya yang terdapat paman pandai besi.

'Kenapa Rafael mengurungnya di peti mati?!'

"Aku suka kematian. Hawa kehampaan dan rasa sakit ini mendominasi seluruh tubuhmu bukan? Ahaha, ayo matilah! Berteriak lah dengan teriakan paling menyakitkan dan menyedihkan di dunia, hahahaha!"

Rafael sudah kehilangan akal sehat.

Rui justru tersenyum miring seiring tangannya menembus dada salah satu Vampir. Aku terkejut dalam ketenangan wujud Eve. Tangan Ruxion bisa sekejam itu.

"Kalian semua ... busuk!"

Tekan Rui mendorong Vampir itu hampir mendiri seluruh esensi situasi ini. Dia sangat kuat. Sarung tangannya berlumuran darah sekarang dan dia tersenyum, lalu menjilat darah itu.

Aku hampir muntah, jika bukan karena kekuatan Eve dalam diriku, aku pasti sudah mati. Rui tidak jauh gila dengan Rafael.

Begitulah cara mereka bertarung selama ini. Dan aku mengkhawatirkan Ruxion. Dia tak kunjung kembali.

Langit tiba-tiba menghitam. Kami mendongak di tengah pertarungan terhipnotis oleh perubahan langit. Tengah malam telah tiba. Sebuah bayangan hitam raksasa hampir menabrak bulan.

Di bawah sinar bulan purnama, tanah merah yang menyala, perlahan memudar kehilangan cahaya. Semua pergerakan terhenti, fenomena di bulan menahan pertempuran. Perlahan-lahan seluruh cahaya malam redup dan bulan terkikis oleh kegelapan. Semua mata fokus padanya. Fenomena langka ini kembali terjadi.

"Bulan Merah."

Bayangan ratusan tahun lalu berputar di kepalaku. Setiap detik, setiap menit, bulan dimakan tanpa ampun. Satu, dua, tiga, bulan pun termakan sepenuhnya.

Langit berubah merah. Kegelapan melanda bumi dengan merah darah dan semua pasang mata bangsa Vampir menyala seperti bulan. Kekuatan Vampir meningkatkan pesat di puncak teratas.

Pohon itu pun muncul. Di tempat yang sama persis dengan ingatan Eve.

Pedang tulang bersinar merah mengikuti refleksi yang ada. Dia menginginkan lebih banyak darah dari Vampir-Vampir berhati hitam. Jiwaku tergerak bersama pedang tulang. Aku melayang mengudara tepat di bawah cahaya merah bulan. Pedang pun jatuh dan menebas setiap dada dalam sekali pusaran dan mereka semua mati hanya menyisakan Rui dan Rafael. Pedang tulang pun jatuh tergeletak di tengah-tengah kucuran darah para Vampir yang terus mengalir hingga darah itu menggenangi rerumputan. Situasi ini juga sama persis seperti ramalan Eve.

Aku pergi ke pohon itu, pedang tulang langsung bereaksi. Dia menyedot seluruh darah yang ada hingga tubuh para Vampir kering dan hangus dengan sendirinya. Saat darah-darah itu menghilang bersatu dengan pedang tulang, pedang itu berbunyi nyaring dan datang sendiri ke tanganku.

"Aaarrggh!"

Mendengar raungan pedang tulang Amari dan Levi keluar dari formasi yang dia buat. Kemudian, disusul dengan Ruxion yang terluka parah.

Di tanah itu Ruxion mengesampingkan rasa sakit dan terus menyerang Amari. Dia menyeret rambut gadis itu dan membanting Amari beberapa kali. Meskipun Amari memukulinya hingga sudut bibir Ruxion sobek dan mengeluarkan darah, Ruxion lebih kacau balau. Dia tahu Amari tidak bisa dibunuh dengan serangan belaka tapi tetap bersikeras.

Levi terus menahan Ruxion sehingga Amari dapat terlepas. Kekuatan mereka juga meningkatkan karena Bulan Merah.

Mereka bertiga terus bertarung tanpa henti meskipun Ruxion sudah berada di ambang batas. Dia menggunakan seluruh kekuatan spiritualnya. Mereka saling melempar senjata pamungkas masing-masing.

'Di mana sang Raja? Kenapa aku tidak bisa melihatnya?'

"Amari!"

Seruku menghentikan pertikaian mereka.

Kumasukkan tanganku ke dalam pohon dan kuraih jantung Vampir yang masih berdenyut yang telah tersimpan selama ratusan tahun.

Amari ketakutan kalang kabut.

"Di mana sang Raja?"

Amari langsung menghampiriku.

"Keparat kau, Eve! Kembalikan jantungku!"

Sringgg!!!

"Aarghh! Aaarrrgg!"

Kutusuk jantung itu dengan pedang tanpa ampun dan Amari langsung membeku dengan mulu ternganga dan mata merah selebar bulan. Tangannya ingin meraih jantung di tanganku.

"Kau tidak akan ... bisa membunuhku! Kembalikan jantungku!" serunya menggema dari segala penjuru.

"Apa? Dia masih bisa bangkit?" Ruxion tercengang.

Kutusuk lebih dalam hingga menembus jantungnya. Amari kembali menggeliat kesakitan. Dia pun muntah darah.

"Aaarrrrr, Eve! Aku sudah meminum darahmu. Aku abadi, kau tidak akan bisa membunuhku!"

Seruannya tetap sama.

"Meskipun kau menyerap seluruh esensi darah Vampir, aku tidak akan mati! Hiyaaaaa!"

"Alicia, awas!"

Di atasku di bawah gelapnya rembulan merah hujan darah pun berdatangan entah dari mana. Tidak mungkin gerhana bulan merah menurunkan hujan darah.

Ternyata Amari mengeluarkan seluruh kekuatannya untuk menghisap energi Levi sampai darah Levi terkuras habis.

Levi meronta kesakitan ingin membebaskan diri tetapi sudah terlambat.

"Amari kau ... Mengkhianatiku?!"

Suaranya tercekat di tenggorokan. Dia mengarahkan pandangan padaku meminta pertolongan.

"A-Alicia ..."

Namun, sudah terlambat.

"Hahahahaha, asalkan terkena setetes dari darah kebencian ini kau pasti binasa, Eve! Kau bukan lagi Vampir yang suci!" gelak tawa Amari di tengah sekarat menggelora menggetarkan jiwa.

"Kau bodoh, Amari."

"Apa?!"

Gadis itu melotot kala pedang tulang menyerap semua hujan darah hingga tak tersisa.

"Mustahil! Tidak mungkin!" napas Amari terengah.

"Itulah yang terakhir dan akan diakhiri dengan darah di jantungmu, Amari!"

Kutebas jantung Amari menjadi dua dan Amari menjerit sekeras-kerasnya.

"Tidaaaaakkkkk!!!"

Keduanya hangus menghilang tanpa jejak. Kini Amari sudah tidak ada lagi.

"Tamatlah kau, Amari!" desis Ruxion dengan tangan terkepal. Dendamnya telah terbalas.

Rui dan Rafael mendekati Ruxion dan Ruxion dengan penuh kesadaran. Mereka semua dapat merasakannya.

Black Flower'sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang