13. Bulan Merah

24 1 0
                                    

Dia menancapkan taringnya ke leherku. Decakannya terlalu kuat.

"Ru-Rui, sakit!"

Baru tiga detik dia melotot terkejut.

"Astaga, darah ini ... pantas Ruxion tidak membiarkanmu pergi. Mungkin ini memang yang Amari cari."

Dia menggigitku lagi tanpa berhenti berkerut dahi.

"Argh!"

"Semakin aku meminumnya, semakin aku menginginkannya lebih dan lagi."

"Argh!"

Dia mulai kalap. Suaranya menggelap.

"Sudah hentikan!"

Kami tersentak bersamaan mendengar bentakan keras Ruxion dari pintu. Rui segera melepaskanku tanpa berdiri hingga kedua orang itu masuk.

Kondisiku saat ini tidak pantas untuk dipandang. Napasku juga tersengal-sengal. Meskipun begitu aku bersyukur mereka datang.

'Ruxion? Rafael? Kalian sudah pulang.'

Mereka berdua terkejut memergoki kami.

"Rui, aku tidak mengira kau akan melakukan ini." Rafael sangat kecewa.

"Ck, padahal dia sendiri yang terus melarang kita memangsa darah manusia. Sekarang lihat perbuatanmu sendiri." Ruxion menatap Rui tajam.

"Ngomong-ngomong ... darah Alicia memang sedikit berbeda." Rui justru masih cenderung serius.

"Dia istimewa."

'Apa ... maksud Rui?'

"Sekarang aku semakin ingin mencicipinya. Aku ingin memperjelas alasan mengapa Amari menginginkan Alicia."

Ketika Vampir itu saling pandang dan mengerti satu sama lain.
Kupikir semua akan selesai, tetapi mata Ruxion dan Rafael justru berubah merah.

"Tidak, tidak, jangan mendekat!"

Mereka terus mendekat dan berlutut seperti Rui.

"Ruxion, kau juga?"

Kupandang Ruxion tidak percaya. Bukankah tadi ingin menyelamatkanku.

"Maaf, Kecoa Kecil, kebetulan sekali tenggorokanku kering. Aku butuh darahmu." suaranya sudah teredam gejolak hati.

"Biarkan aku merasakanmu lagi." Ruxion menerkam lenganku.

"Buat aku hidup dengan penderitaan dari desiran darahmu." Rafael menarik kakiku.

"Kemarilah, Alicia, aku haus!" Rui mulai menggapai leherku.

Tubuhku mengejang kaku. Hawa mereka dingin, tapi sepanas api.

'Tidak! Aku tidak tahan lagi!'

Dalam sekali hentakan mereka menggigitku secara bersamaan.

Sepertinya aku butuh makanan manis.

~~~

Bulan sabit bersinar di tengah kegelapan malam. Aku sudah tidur cukup lama. Serangan itu melumpuhkanku hingga tengah malam.

Kupandangi kotak gula batu yang diberikan Ruxion.

"Gulanya tinggal satu."

Aku pun meminumnya. Tidak ada lagi yang tersisa.

Aku tau ini akan terjadi. Aku hanyalah alat kantung darah bagi mereka.

Kepalaku menggeleng saat kata-kata itu terngiang.

"Tidak, aku harus membalikkan keadaan."

Kuturun dari ranjang untuk membaca beberapa buku.

'Benar juga, aku bahkan hampir melupakan hobiku semenjak menginjakkan kaki di rumah ini.'

Seisi tas hanya terselip buku pelajaran. Netraku membesar ketika melihat sesuatu.

"Buku astronomi?"

Aku mengambil dan duduk di bangku meja belajar.

"Aku meminjamnya dari perpustakaan. Belum sempat kubaca."

Mungkin lumayan berfungsi untuk menghilangkan beban.

Saat kubuka halaman demi halaman buku tersebut, seolah sinar cahaya yang sangat terang menerjang menusuk indra penglihatan, aku dibuat buta hingga tidak nampak apapun sampai mataku perlahan terbuka dan kurasa inilah yang disebut menembus ranah ruang dan waktu.

"Tempat apa ini?"

Kupandang sekeliling, langit dipenuhi bintang, cerah tanpa awan, dan gelap tanpa bulan. Ini di langit. Dan aku berada di puncak tebing.

"Apa?!"

Beberapa tanah kecil jatuh ke dasar jurang saat aku menunduk. Aku segera mundur sampai terjatuh kelagapan.

"Ke-kenapa aku bisa ada di sini? Di mana ini? Ruxion, kau mendengarku? Tolong aku!"

Suaraku bergema dan memantul bagai Boomerang. Bahkan setiap kali aku bernapas serasa ada yang mengawasiku.

Di tengah kepanikan, tiba-tiba langit semakin menghitam. Aku mendongak mengira itu perbuatan awan, tetapi ternyata bulan purnama berubah menjadi bulan merah.

"H-hah?!"

Aku mundur lagi. Angin bertiup kencang tanpa membiarkanku berkedip. Lalu waktu pun melintas dengan singkat dan bulan itu menghilang.

Langit kembali cerah dan aku dipaksa untuk menembus sesuatu berupa cahaya lagi.

"Hah!"

Napasku terengah dan perasaanku campur aduk. Tiba-tiba aku sudah kembali duduk dengan buku itu di tanganku.

"Apa yang barusan ... terjadi?"

Seluruh tubuhku dihantui rasa takut. Namun aku tidak mau menyerah diri.

Kulawan rasa takut itu dengan membaca semua halaman yang tersisa. Aku tidak peduli jika harus dibawa ke ranah tebing itu lagi.

Namun tidak terjadi apapun sampai kuselesaikan halaman terakhir.

"Huft!" kuhela napasku panjang.

"Buku ini ... seharusnya kubeli saja."

Jika masih harus mengembalikannya, aku tidak akan tahu arti tersembunyi dari penglihatan tersebut.

Black Flower'sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang