hal-36

14 2 0
                                    

  Setelah selesai menunaikan sholat isya  di masjid depan rumah sakit, yang sempat tertunda sebab insiden meledaknya taxi. Ziah memutuskan untuk kembali menemui Kiara.

Namun sampai di deket ruang kamar Kiara, terdapat Ayahnya Kiara yang duduk berjongkok dengan pikiran kalut.

Ziah mulai menghampiri Papanya Kiara yang duduk di depan pintu kamar pasien. "Maaf, Om gimana keadaan Kiara. saya Temannya Kiara."

"Kamu peringkat berapa di sekolah?" tanyanya seketika Ziah kembali terkejut mendengar pertanyaannya itu.

"Saya peringkat tiga," jawab Ziah dengan asal. Kemudian Papanya Kiara mengangguk.

"Saya ingin anak saya berteman dengan teman yang suka belajar. Saya juga bukan Ayah yang baik. Saya menyesal sebab baru menyadari akhir-akhir ini saya terlalu keras mendidik Kiara sendirian, setelah Istri saya telah tiada,"ungkap Papanya Kiara dengan matanya yang mulai berair.

" Dari Kiara kecil, saya selalu marah-marah pada Kiara ketika melihat nilainya yang buruk dan rendah. Hingga saya memaksa Kiara untuk mengikuti banyak les akademik."

Ziah mendengarkan cerita dari Ayahnya Kiara untuk kali pertama. "Kiara pernah cerita ke saya, kalau dia senang ketika pertama kali memenangkan lomba nyanyi waktu SD, Om."

"Kiara bilang kalau semenjak kehilangan Mamanya, Kiara ngerasa sedih ketika pas kedua kalinya memenangkan lomba bernyanyi Mamanya sudah nggak ada di sampingnya Lagi. "

Dua jam yang lalu, hujan membasahi kaki mereka berdua. Kiara tertawa kecil kemudian berubah terisak lalu menggenggam gelas cup berisi teh hangat.

"Gue nggak nyangka hidup gue hancur banget setelah kehilangan Mama gue. Lo tahu hal apa yang paling hancur lagi ketika satu-satunya malaikat dalam hidup gue yaitu ayah yang tersisa menemani gue. gue ngerasa gagal buat Ayah gue bahagia seperti dulu."

"Lo belum gagal. Kalau Lo masih hidup artinya Allah masih ngasih banyak kesempatan buat Lo, agar bisa bikin Ayah dan Mama Lo bahagia, termasuk buat diri Lo sendiri bahagia." jawab Ziah dengan pelan lalu kembali diam.

"Makasih, Lo udah bilang hal itu." ucap Kiara terharu mendengar perkataan Ziah barusan.

Kiara tersenyum memandang ke atas langit yang hujannya belum reda, "Gue ingat waktu gue menang lomba nyanyi waktu SD untuk kali pertama dalam hidup gue,"

"gue seneng banget karena liat Mama gue yang bahagia liat gue berdiri di atas panggung sambil memegang piala. Terus..." ucapnya dengan mata yang berbinar, sebenarnya Kiara tidak ingin menceritakannya ke Ziah.

Tapi entahlah Kiara merasa dia butuh teman cerita. "Terus Ketika lomba kedua yang gue menangkan, gu-e  hah sedih banget karena gue gak bisa liat Mama lagi ada di samping gue. "

"Pas sampai di rumah piala itu yang baru gue dapat, dibanting oleh Ayah gue. Gu-e  ngerasa sedih banget waktu itu karena Ayah gue juga melarang gue untuk bernyanyi. "

Kiara  tersenyum getir, melanjutkan menyeruput teh yang hangat. Sedangkan Ziah tetap diam menyimak Kiara bercerita dengan mata yang terpejam.

"Apa yang bikin Lo jadi suka nyanyi?"tanya Ziah dengan pelan, seketika Kiara mendengar pertanyaan itu tersenyum lebar.

" Karena Mama gue yang suka musik. Dan Mama gue pernah cerita kalau Ayah gue dulu melamar Mama gue dengan sebuah lagu yang dipetik gitar terdengar sangat indah. Mungkin dari cerita Mama bikin gue terharu, dan...."

"Gue juga ingin lagu gue bisa di dengar Mama dan Ayah, dan bahkan disukai oleh mereka berdua. Tapi, gue rasa itu cuma bakal jadi mimpi. Karena semenjak kehilangan Mama dalam hidup gue.  Ayah selalu marah-marah jika gue bermain musik dan melarang gue untuk bernyanyi. Gue sempet berpikir mungkinkah Ayah gue udah nggak sayang lagi dengan gue."

Jam Pelajaran Olahraga Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang