HS 3²

285 24 2
                                    


Syakila hanya melamun di area jemuran rumahnya. Memandang anak-anak kecil berlalu lalang di bawah sana dengan tawa riang terlihat tanpa sebuah beban. Memori masa kecilnya terputar jelas di pikiran Syakila yang tanpa sadar membuatnya tersenyum.

Tangannya mengelus si jabang bayi di dalam perut yang terlihat nyaman disana. "Adek nanti harus bahagia juga ya seperti kaka-kaka disana."

"Adek gak boleh sedih ya, kalo nanti seluruh dunia bertanya dimana dan siapa Abi adek. Masih ada bunda disini." Hanya berbicara seperti ini saja Syakila tidak bisa menahan air matanya. Terlalu menyakitkan.

"Kalo nanti bunda udah punya uang, kita cari kontrakan dan menata hidup baru. Tapi buat sekarang, gapapa ya kita tinggal di rumah nenek dulu?"

"Abi kamu lagi apa ya dek disana? Benar dugaan bunda. Abi sama sekali gak akan pernah ngerasa kehilangan kita."

***

"Gimana bi. Abi udah berhasil bicara sama keluarga Maryam?" Ibrahim yang baru datang di sambut oleh pertanyaan Selvi.

"Abi rasa jangan sekarang Mi. Zafran dan Syakila juga belum resmi bercerai, baru niat. Apalagi kejadian di baitullah belum lama. Pasti suasana hati mereka juga belum membaik."

"Gak cuman niat Bi. Perceraian Mas Zafran itu udah pasti."

"Umi yakin Syakila gak akan balik lagi? Umi juga bisa liat keadaan Zafran setelah di tinggal Syakila gimana? Ngurung diri di kamar, makan jarang. Jangan selalu mendahului kehendak Allah, mi." Adam meninggalkan ruang keluarga dengan dengusan yang Selvi keluarkan.

Setelah kepergian Syakila, Zafran memilih untuk menetap di rumah keluarganya. Menjernihkan pikiran dengan melakukan hal-hal lama yang ia suka. Kewajiban nya mengurus pondok masih ia tanggung dengan menempuh jarak selama 2 jam setiap hari. Hal ini ia lakukan agar merasa sibuk dan melupakan istirnya.

Bukan Zafran tidak berniat untuk membawa Syakila kembali. Saat Zafran menghubungi nomor istrinya, tidak ada balasan sama sekali. Semua akses di blok oleh Syakila membuat Zafran kesulitan.

"Mas,"

"Ada apa Mi?"

"Mas, Mas janjikan sama Umi akan menceraikan Syakila?" Ini adalah alasan lain kenapa Zafran tidak menyusul kepergian Syakila. Tuntutan dari uminya membuat Zafran terus merasa bimbang.

"Mas belum yakin Mi. Mas masih berharap Syakila berubah, karena mas masih punya tanggung jawab anak yang di kandung Syakila."

"Mau gimana pun Mas harus yakin. Syakila udah bukan jodoh Mas. Masalah anak-an udah Umi kasih saran kemarin."

"Umi gak mau tau. Mas harus cerai sama Syakila dan menikah dengan Maryam!"

"Mas malu, Mi. Mas berkali-kali membuat malu keluarga Maryam dan menyakiti hati Maryam."

"Umi yang akan coba bujuk Mas."

"Kenapa Umi gak pernah bisa menerima kalau Syakila itu menantu Umi? Kenapa Umi terobsesi Mas menikah dengan Maryam? Mungkin memang ini jalan yang Allah siapkan untuk Mas. Syakila adalah takdir yang selama ini ada dalam doa-doa Mas, Mi."

"Astaghfirullah, Mas. Kamu tanya apa alasan umi gak menyukai Syakila? Jawabannya sikap kamu tadi. Kamu berubah semenjak ada Syakila di hidup kamu. Kamu gak lagi mendengarkan apa kata-kata umi."

"Jangan sekali-kali kamu sebut lagi kalau Syakila adalah jawaban dari doa-doa Mas! Bertahun-tahun Umi berdoa untuk setiap yang ada di hidup mas. Dan itu seharusnya Maryam bukan Syakila! Denger itu mas!"
Teriakan Selvi mampu membuat Zafran terdiam. Umi nya yang selalu berkata lembut dan penuh kasih sayang, hari ini membentak dirinya.

Selvi berjalan keluar dengan isak tangis membuat Zafran tersadar. "Astaghfirullah, kenapa jadi gini."

***

"Ka Kila itu yang di keranjang hitam, semuanya pakaian kotor. Kata ibu tolong cuciin."

"Kenapa gak cuci baju sendiri can? Kamu kam udah besar, udah kuliah masa harus kaka juga yahg cuciin."

Cantika berdecak tak suka, "Ya hitung-hitung selama kaka tinggal disini ada kerjanya lah. Sekalian olahraga buat bumil, jangan malah di manja."

"Tinggal di rumah sendiri kamu adain perhitungan? Aku bahkan lebih dulu nginjak kaki di rumah ini dari pada kamu--"

"Eh, apaan ini ribut-ribut, bikin berisik aja." Anita datang melerai kaka-adik yang saling menatap sengit itu.

"Ka Kila gak mau cuciin baju kita bu. Dia cuman mau numpang trs santai-santai di rumah kita."

"Rumah kita? Rumah aku jug--"

"Bener yang di omongin Cantikan, Kil. Kamu kan sudah menikah. Ini bukan rumah kamu lagi, jadi kamu cuman numpang disini. Apa salahnya sih nyuciin baju kita semua?"

Syakila hanya terdiam tidak percaya dengan semua penuturan ibunya. Apa ada sebutan bekas anak di dunia ini setelah ia menikah dengan pasangan hidupnya? Bukannya keluarga adalah tempat seseorang untuk berpulang? Kalau seperti ini, Syakila harus pulang kemana?

"Tapi Kila lagi hamil besar bu. Jangankan nyuci baju, sekedar jalan pun Kila udah susah bernafas."

"Terus kontribusi nya kamu di rumah ini apa? Kalo gak mau nyuci, kamu minta uang sama suami kamu sana, buat laundry. Kan selesai urusannya."

Syakila hanya bisa menatap nanar sosok yang melahirkannya, "Ibu berubah ya. Sifat mandiri nya Kila dari dulu ternyata ibu manfaatin buat kesenangan ibu sendiri. Kila seakan-akan cuman atm berjalan kalian yang harus terus peras kekayaan pria-pria di luar sana."

Bersambung

Hijrah Syakila Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang