HS: 36

359 32 5
                                    


   Perasaan Syakila begitu campur aduk. Ia senang bisa kembali bersama suaminya dan meninggalkan lingkungan keluarga, tapi di sisi lain ia takut akan reaksi dari umi mertuanya.

"Ka, Kila takut deh."

Zafran sedikit menoleh lalu kembali fokus pada jalanan karena sedang mengendarai mobil. "Takut kenapa Kil?"

"Takut sama respon Umi." Ternyata Syakila memikirkan apa yang Zafran pikirkan selama seharian ini.

"Nanti kita bicara baik-baik ya." Ujar nya menenangkan.

Sesampainya mereka di kediaman Adam dan Selvi bertujuan untuk membenahi barang-barang Zafran yang masih tertinggal dan berpamitan sebelum meninggalkan rumah ini lagi.

"Mas." Khodijah yang sedang menyiram tanaman menyalimi tangan Zafran. Dengan usil pria itu malah mencubit pipinya membuat sang empu kesakitan.

"Mas awas aja ya!" Kekesalannya itu seketika meredam saat melihat seseorang yang ada di belakang mas nya.

"Mba Kila?" Syakila hanya tersenyum tipis sambil menggenggam tangan Zafran erat.

"Umi ada dek?" Tanya Zafran mencairkan suasana.

"Ada, di dalam mas." Setelah mendapat jawaban itu Zafran melangkah masuk bersamaan dengan Syakila.

"Assalammualaikum."

"Waalaikumsallam, eh mas udah pul--" Suara yang dengan ceria menyambut putranya itu seketika terputus saat melihat sosok Syakila yang bersembunyi di belakang putranya.

Selvi menggeram marah hendak menarik Syakila tapi dengan cepat Zafran menahannya. "Mi dengerin penjelas mas dulu."

"Penjelasan opo lagi toh mas? Sengaja Umi suruh kamu pulang cepet iku biar gak bertemu dia! Tapi sekarang berani-beraninya dia menginjakan kaki di rumah ini." Khodijah yang mendengar keributan di dalam segera berlari dan menenangkan Selvi.

"Umi sabar ya, Mas Zafran kan baru sampai, pasti lelah habis dari perjalanan jauh." Khodijah menuntun Selvi untuk duduk di sofa menenangkan diri.

"Istigfar ya mi."

Zafran bisa merasakan genggaman Syakila yang menguat menahan ketakutan. Perasaan iba datang saat memposisikan diri menjadi istrinya.

"Ayo duduk dulu Kil."

"Ga! Umi gak sudi dia duduk di sana!" Zafran duduk mendekati Selvi. Membicarakan yang seharusnya memang ia bicarakan.

"Umi, maaf kalau umi gak suka kehadiran Syakila. Tapi Syakila istri mas. Dulu Umi sering bilang kan, kalau mas harus memuliakan istri mas, seperti Abi yang memuliakan Umi? Mas akan lakuin perintah itu--"

"Tapi kalau istrinya seperti dia gak perlu mas." Sela Selvi.

"Gak bisa begitu mi. Mas sayang sama Kila. Umi juga tau kan waktu Syakila pergi mas langsung jatuh sakit? Selain itu, di dalam rahim nya Syakila ada tanggung jawab mas." Zafran menarik Syakia untuk di elus perutnya. Syakila yang mendengar itu juga ikut menangis.

Tanpa sadar tubuhnya bersujud di hadapan Selvi dan memohon segala maaf atas perlakuannya kepada keluarga Malik.

"Umi maafin Kila. Kila tau kesalahan ini buat Umi dan Kelurga Malik menanggung malu. Kila mohon mi, maafin Kila."

"Sayang bangun." Zafran tahu permintaan maaf istrinya itu tulus, tapi bayang-bayang kejadian saat Syakila ditendang saat bersujud oleh Anita membuat Zafran sedikit ketakutan.

Dengan mata yang masih menangis sambil mengepalkan tangannya di hadapan Selvi, Syakila memohon. "Kila mohon terima Kila di keluarga umi, Kila janji akan berubah, dan mengizinkan Ka Zafran untuk menikah dengan Mba maryam." Selvi menoleh terkejut atas perkataan itu.

"Iya umi. Syakila juga bilang ke Mas sebelum mas izinin Kila buat kembali pulang ke sini."

"Kamu gak bohong kan?" Walaupun amarahnya sedikit mereda tapi pertanyaan itu dilemparkan dengan ketus.

"Kila gak bohong Umi. Kalau perlu kila yang akan ngomong ke keluarga Mba Maryam secara langsung dan membuat perjanjian." Selvi tampak berpikir mengenai persyaratan menarik yang Syakila berikan.

"Kalau kamu melanggar janji gimana?"

"Umi boleh laporin Kila ke pihak berwajid ataupun sanksi sosial lainnya."

"Oke. Malam ini kita akan bahas di keluarga besar."

***

Syakila memilih untuk duduk di ayunan taman belakang kediaman Ibrahim sambil menatap tanaman-tanaman hias milik Khodijah diiringi suara air di kolam ikan.

"Mba Syakila." Panggilan itu membut nya menoleh dan mendapati Khodijah yang berdiri di depan pintu.

"Khodijah, sini duduk." Ajaknya sambil menepuk bagian yang masih kosong.

Khodijah berjalan mendekat dan ikut duduk di samping Syakila. Ia dan Syakila terbilang jarang untuk sekedar mengobrol berdua. Jadi tidak heran kalau sekaranh canggung menguasai kedua perempuan itu.

"Mba yakin sama keputusan tadi?"

Syakila tersenyum masih terus menggerakan ayunan nya secara pelan. "Ketika kamu mencintai seseorang, apapun pasti akan kamu lakuin."

"Sekalipun itu menyakiti diri sendiri?" Syakila mengangguk.

"Emang Mba kuat nanti liat Mas lebih sayang ke Mba maryam?"

"Siap gak siap, harus siap."

"Kenapa mba terobsesi sama Mas ku?"

Syakila mendadak tersenyum sambil membayangkan memori-memori bersama Zafran.

"Aku selalu ngerasain rasanya ketidak terimaan dimanapun aku berdiri, Jah. Saat masa kanak-kanak di Bully sampai aku beranjak dewasa. Gak cuman itu, bahkan keluarga ku sendiri pun termasuk. Berkali-kali ngerasain yang namanya putus cinta. Semua hal itu buat aku gak percaya sama diri sendiri. Sampai akhirnya di ujung kefrustasian aku bertemu Mas mu."

"Dia sosok yang selalu menerima aku apa adanya. Di saat aku gak percaya sama kehadiran pria baik, dia datang seolah menjemput aku dari kegelapannya dunia. Perhatiannya, semua ucapan lembut yang keluar dari Ka Zafran buat aku ngerasa hidup kembali. Rasanya aku mau keluar dari bayang-bayang hidup yang menyakitkan ini. Aku mau suatu saat nanti, anak aku hidup di lingkungan yang baik dan dapat keluarga yang selalu menerima kehadirannya."

"Kamu tau Jah? Saat Ka Zafran bilang kalau dia sayang sama aku, aku bahagia banget. Aku seenggaknya punya sosok yang selalu menerima aku." Hati Khodijah seperti tersayat mendengar penuturan ipar nya. Ia memeluk Syakila, menguatkan perempuan yang ternyata di dalamnya begitu rapuh.

Sedangkan di depan pintu halaman belakang Zafran mendengar pembicaraan itu, melihat interaksi istri dan adiknya.

"Mas boleh ikut pelukan gak ya?" Syakila dan Khodijah yang mendengar itu melepaskan pelukan mereka dan terkekeh.

"Mba mu cengeng ya?" Ejeknya sambil mengusap air mata Syakila. Mendengar itu Syakila hanya mengerucutkan bibirnya dan mencubit pelan perut Zafran.

Ketiga nya terlihat asyik berbincang mengenai bayi yang ada di dalam perut Syakila, menghabiskan waktu sore bersama. Sesekali Zafran yang menjaili adiknya membuat Khodijah kesal dan Syakila tertawa.

Setidaknya keadaan berangsur membaik. Syakila berharap dunia pun akan terus menerima kehadirannya dan anaknya. Syakila masih akan terus berdiri selagi Allah, Suami dan anaknya ada di samping nya.

To Be continued

Hijrah Syakila Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang