Part 34

6K 388 3
                                        

Digo mengacak-acak rambutnya frustasi. Ia baru saja menceritakan bagaimana Salsa meninggal. Walaupun Sisi sudah tau bagaimana ceritanya, tapi mungkin Digo lupa kalau ia sudah cerita.

"Digo.. Udah.. Kita ke makam Salsa aja, yuk. Makam-nya dimana? Biar aku anterin. Ayok," ajak Sisi. Digo mrnggeleng pelan. "Ke makam Salsa lebih baik daripada di sini frustasi. Kamu boleh ngomong apa aja sama Salsa, nanyain kabar dia, cerita tentang kamu setelah dia pergi, pokoknya apa yang mau kamu bilang sama dia, puasin di sana. Jangan cuma dipendam," kata Sisi.

Digo menghela nafas. Lalu menggeleng pelan. "Digo..." panggil Sisi lembut. Digo menoleh. "Salsa?" batinnya. Ya, saat ini ia memandang Sisi sebagai Salsa. "Bayangin aku adalah Salsa, sekarang, kamu bilang apa yang kamu mau bilang sama Salsa," kata Sisi.

Digo menggeleng, lagi. Sisi menghela nafas. Ia langsung saja memeluk Digo. "Kamu jangan begini terus, dong. Aku bingung mau ngapain," isak Sisi. Ia tak tau harus berbuat apa, sampai ingin menangis.

"Kamu jangan nangis.. Ini masalah aku, kamu gak perlu ikut campur. Aku aja udah begini, apalagi kamu? Nanti siapa yang nenangin aku? Nanti siapa yang buat aku senang?"

Sisi mempererat pelukannya. Ia benar-benar kehabisan kata-kata, bahkan ide untuk membuat Digo bangkit. Ia hanya bisa di sana, memeluk Digo, berharap kekasihnya itu bisa lebih mendingan. Walaupun di sana ia menangis.

Sisi terlalu lelah menangis, ia tertidur dalam posisi memeluk Digo. Wajahnya menggambarkan keputus-asaan. Digo menyadari kekasihnya itu tak berbicara sepatah kata pun.

"Si?" panggil Digo. Sisi tak menyaut. "Sisi? Sayang?" panggilnya lagi. Digo merenggangkan tangannya di pundak Sisi dan seketika itu juga tangan Prilly di pinggang Digo terlepas.

Digo kaget melihat Sisi memejamkan matanya. Pipinya basah. "Ia... menangis?" Digo mengusap pipi Sisi, menyeka air matanya. "Kamu gausah nangis buat aku. Aku gasuka itu," bisik Digo, lalu terkekeh. Ia mencubit pipi Sisi.

Digo menggendong Sisi di punggungnya. "Oh iya!" kata Digo. Ia teringat sesuatu. Ia mengambil sesuatu dari tas Sisi. Handphone. Ia membukanya, lalu menekan tombol kamera. "Selfie!!" seru Digo. Ia tersenyum, sementara Sisi tertidur.

Digo meletakkan Sisi di kursi di sebelahnya, sementara Digo menyetir mobil. Digo memasangkan seat-belt untuk Sisi, begitu pula dirinya setelah itu. "Kita ke makam Salsa, ya, Si," kata Digo lalu mendaratkan bibirnya di kening Sisi.

Digo mulai menjalan mobilnya, lalu tak lama tiba di sebuah tempat pemakaman umum.

"Kamu tunggu di sini, ya, Si," kata Digo. Ia mencabut kunci dari lobangnya setelah membuka jendela mobil tak terlalu lebar. Jadi ia masih bisa mengamati Sisi.

"Hai, Sals." Digo membersihkan makam Salsa. Ia menyingkirkan bunga-bunga lama yang sudah kering, lalu menaburkan bunga-bunga baru. Ia pun meletakkan bunga-bunga lama yabg kering itu di dalam plastik tempat bunga-bubga baru itu awalnya di tempatkan.

"Hai, Sals. Apa kabar? Aku baik, kok. Udah 1 tahun, ya, kita gak ketemu. Kangen, deh, sama kamu. Kamu boleh ngunjungin aku kapan aja yang kamu mau." Digo menjeda beberapa saat. "Aku udah punya pacar baru, loh. Tapi tenang, aku sayang sama kamu. Walau sebagai adik. Pacar baru aku itu imut banget, sama imutnya kayak kamu. Dia juga baik, hampir mirip lah sama kamu. Tapi kalian itu beda."

Digo menghela nafas. Ia mengusap pusara makam Salsa. "Kamu jangan gangguin pacar aku karena cemburu, yah. Dia baik. Dia yang nyuruh aku ke sini, walaupun udah berkali-kali dia nolak." Digo menatap ke arah langit. "Aku pulang, ya. Kasian Sisi ketiduran gara-gara nangis," lanjutnya.

"Digo..."

Different Love StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang