Different Love Story

Bonus Part 1

[Digo-Sisi]

Sisi's POV
__________________

Digo pergi. Gue bosen! Gue gak tau mau ngapain! Kita lagi ngadain camping di taman villa Digo di Puncak. Awalnya tuh, ya, gue pikir gue sama Digo bakal romantis-romantisan terus. Eh malah gue yang ngeliatin orang romantis-romantisan. Gue kayak cacing lewat di sini, gak dipeduliin Nayla sama Tristan yang asik peluk-pelukan. Bahkan Tristan tadi sempet nyanyiin Nayla pake gitar! Gue bahkan belom pernah digituin.

"Pril, balik yuk?" tanya Nayla. Gue menggeleng pelan. "Gak, gue masih mau di sini. Enak," kata gue. Mereka yang awalnya duduk di matras yang digelar di depan api unggun pun langsung balik ke tenda masing-masing. Gue sendiri. Gue pun tiduran di atas matras ini. Enak juga. Bikin ngantuk.

Tapi gue gak tidur. Gue sibuk mandangin langit malam yang terang banget. Ada bulan sama bintang di atas sana, keliatan banget. Enak ya, jadi bulan. Ada bintang terus. Digo yang pacar gue aja sekarang gak ada di sebelah gue. Enak jadi bulan.

Tiba-tiba pesawat lewat di atas gue. Gue kaget. Masalahnya gue mikir kalo gue bakal mati sekarang. Dan akhirnya gue nyadar kalo itu cuma pesawat kertas. Pesawat kertasnya berhenti tepat di belakang kepala gue. Gue langsung duduk bersila, ngambil pesawat kertas itu, terus muter-muterin pesawat kertasnya.

Gue ngebuka lipetannya, dan ada tulisan di sana.
Matiin api unggunnya. Pergi ke dalem villa.

Gue menatap tulisannya bingung. Gue gak bisa nerawang lagi sekarang, kemampuanmya udah dimatiin karena usul gue. Gue gak suka kemampuan menerawang gue, gak tau juga sih kenapa. Gue kurang suka aja. Dan gue berdiri dari tempat duduk gue sekarang, ambil air yang udah disediain buat matiin api unggun, dan berjalan ke arah villa. Gue ngerapetin jaket gue, hawanya dingin banget, cuy.

Gue lewat pintu belakang villa, tamannya emang di belakang. Sebelum gue sempet ngebuka pintu belakang, pesawat kertas lagi-lagi dateng. Dan gue gak kebingungan kaya pertama kali, gue langsung ngebuka pesawatnya.

Lama lo. Gue tunggu di kamar tamu bawah.

Selain karena gue gak bisa nerawang siapa yang buat, gue baru nyadar kalo tulisannya itu hasil diketik, bukan tulis tangan. Gue bingung sekarang. Jadi daripada gue diem di depan pintu taman belakang kaya gini, gue masuk ke dalem villa. Gue udah tau seluk-beluk villa ini. Jadi gue gak bingung nyari kamar tamu.

Gue sekarang berdiri di depan kamar tamu. Entah kenapa gue deg-degan sendiri. Gue buka pintu kamar tamu itu. Suara deritan pintunya kedengeran banget.

"Ha-halo?" kata gue. Gue pun duduk di ranjang besar. Gelap banget, dan gue gak tau saklar lampunya di mana. Kalo biasanya mata gue bisa ngeliat sana sini, sekarang gue cuma modal ngeraba-raba dan akhirnya nemulah kasur ini.

Gak lama, alunan gitar bunyi.

"Coba khayalkan sejenak
Sepuluh tahun nanti hidupmu
Coba bayangkan sejenak
Misalkan ada aku yang menemani
Hari demi hari yang tak terhitung."

Itu suara Digo.

"Misalkan itu aku yang terakhir untuk mu
Untuk itu kan, kupersembahkan

"Himalaya
Bahkan akan aku taklukan
Tanpa cahaya di kegelapan
Berbalutkan pelita di hatimu
Di aku di aku dan kamu."

Gue seakan terbawa suasana. Digo romantis banget.

"Pasti kan kau melihat aku
Saat ku gapai puncak tertinggi
Bersama tujuh warna pelangi

"Misalkan semua terjadi
Meski belum terjadi
Sekarang kita renungkan sejenak
Cara agar semua bisa terjadi
Walau ku tau tak semudah itu."

Gue gak pernah nyangka dia bisa main gitar selihai ini, dan punya suara yang bagus banget.

"Tapi coba sekali lagi bayangkan aku
Untuk itu kan kupersembahkan

"Himalaya
Bahkan akan aku taklukan
Tanpa cahaya di kegelapan
Berbalutkan pelita di hatimu
Di aku di aku dan kamu

"Pasti kan kau melihat aku
Saat ku gapai puncak tertinggi
Bersama tujuh warna pelangi."

Lampu dinyalain. Dan gue bisa liat Digo naro gitarnya di bawah saklar lampu, terus nyamperin gue. Dia duduk di sebelah gue dan rangkul pundak gue. Gue pun bersandar di diri Digo. Hening melanda kita. Tapi entah kenapa gue nyaman begini.