Ch.12 Aku Mulai Berani

1K 84 19
                                    

TAMBATAN HATI

CHAPTER 12

ADIL POV

Mendengar apa yang diucapkan oleh Kak Mira, mendadak mataku membulat, dadaku berdetak kencang, sialan memang Kak Arman ini, sudah aku bilang aku tidak berbohong dan mengadukan apa yang aku lihat tentangnya kepada Om Abas, masih saja ia tidak percaya, aku menatap lurus ke arahnya, kepalanya bergerak ke arahku, mata kami saling menatap, terlihat dari sorot matanya yang biasanya tajam dan dingin, kini sorot itu terlihat sendu, mungkin merasa tidak enak karena telah merusak ponselku, masih kesal dan marah aku kepadanya, apalagi setelah mengetahui fakta baru hari ini.

Kak Mira pergi ke dapur sedangkan Om Abas ke halaman belakang, tinggal aku berdua bersama Kak Arman diruang tengah, ia masih diam dan menunduk, terlihat konyol dengan setelan futsalnya, alisnya bertaut kencang, seperti sedang berfikir. Aku mengambil tas kemudian pergi meninggalkannya untuk masuk kedalam kamarku, mengganti pakaian lalu tiduran dikasur, jenuh sebenarnya, tidak ada hiburan, tadinya aku mau menonton televisi saja, tapi rasanya jadi males duluan, apalagi dengan kehadiran Kak Arman yang diam mematung disana, lebih baik gabut sendiri saja disini.

Jepri, nama itu terus terngiang dikepalaku, pemuda yang mengantarku pulang, apa dia beneran keponakan ibu warung itu ya? Kembali aku mengingat wajahnya, manis, sedikit kumis tipis yang rapi, seperti baru tumbuh setelah dicukur, tapi kenapa kulitnya belang ya? Apa karena memang dia bekerja sebagai tukang ojek ya? Makanya tangannya belang?  Apalagi punggung tangannya, cokelat gelap, satu lagi yang khas darinya, aromanya, sedikit membuatku pusing, tercium aroma vanilla dan jeruk nipis yang segar, menguar sejak pertama kali aku naik ke atas boncengannya, tapi aroma vanillanya itu yang membuatku pusing, bayangkan saja, aroma semanis dan sekental itu, berpadu dengan cuaca sore hari yang panas dan berdebu, tidak muntah saja sudah hebat rasanya aku, kontradiktif dengan aroma jeruk nipis yang segar, jadi aneh aromanya, tapi justru itu yang membuatku mengingatnya terus, aroma tubuhnya yang khas.

Terdengar suara ketukan dipintu, Bi Minah pasti, aku turun dari kasur dan membuka pintu kamar. Bukan, bukan Bi Minah ternyata, tapi pemuda sialan ini lagi, ia berdiri dengan wajah juteknya, kedua tangannya terlipat didada.

“Kok belum ganti baju?.” Tiba tiba pertanyaan itu keluar dari mulutku.

“Kenapa lu ngatur?.”

“Siapa yang ngatur? Adil cuman nanya kok!.” Entah apa yang merasukiku, kemarin aku sangat amat takut dan tidak berani kepadanya, tapi sejak kejadian tadi pagi, rasanya mulut ini susah sekali menahan untuk tidak membalas ucapannya.

“Kan gw mau futsal, ngapain ganti baju?.” Aku diam saja tidak perduli.

“Mau apa?.” Tanyaku singkat, aku hanya membuka pintu kamarku setengah, ia melihat ke sekitar, entah apa maksudnya.

“Ajak masuk kek!.”

“Disini juga bisa kan?.”

“Ini rumah gw ya!.” Ujarnya tegas.

“Rumah Om Abas.” Wajahnya kemudian terlihat frustasi.

“Mau apa?.” Tanyaku sekali lagi, ia dengan cepat mendorongku masuk, memaksakan dirinya ikut masuk kemudian menutup pintu kamarku.

“Nggak sopan!.”

“Bodo amat, mana handphone lu yang rusak?.” Ujarnya sambil menadahkan tangannya dihadapanku, aku hanya menatapnya.

“Mau diapain lagi? Mau dibuang? Udah rusak.”

“Kagak, mana sini lihat dulu gw, lama ah!.” Aku masih diam, matanya menatap ke arah meja belajarku, dengan cepat ia mengambil ponsel rusak milikku itu dari atas meja belajar, aku juga berusaha merebutnya, tapi kalah cepat.

ArmanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang