CHAPTER 8
THIRD POV
Sepi terasa kali ini dirumah, Adil hendak menghubungi Ibu dan Kakaknya di kampung, tapi ternyata pulsa yang ada didalam ponselnya tidak mencukupi, hendak membeli, tapi ia juga belum terlalu faham dengan daerah sekitar, diman letak warung, mart atau yang lainya, jadilah dia hanya mengirimkan pesan kepada Ibunya, menyampaikan bahwa hari ini dia sudah melakukan pendaftaran pada sekolah barunya, tentang bagaimana baiknya keluarga Abas, dia tidak menyampaikan sikap Arman yang jutek dan judes itu kepada Ibunya, takutnya ia akan merasa sedih dan menyuruh Adil untuk kembali pulang, belum saatnya, ini baru hari pertama, tidak akan ia menyerah begitu mudah.
Belum ada balasan sejak satu jam yang lalu, Adil keluar dari kamar, tenggorokannya terasa haus, berniat untuk pergi ke dapur untuk mengambil minum ketika pintu depan rumah terbuka, ia mendadak berhenti tepat dibawah tangga terakhir, menatap ke arah seseorang yang masuk kedalam rumah.
Arman.
Adil mendadak diam mematung, Arman berjalan mendekat, hendak naik ke lantai atas, menuju kamarnya, Arman berhenti berjalan, seragamnya berantakan, keningnya basah berkeringat, ia menatap Adil tajam.
“Apa lu liat-liat? Minggir!.” Ujar Arman sambil mendorong badan Adil, ia lanjut naik kelantai atas, meninggalkan Adil yang masih mematung.
Adil melanjutkan langkahnya untuk mengambil minum, tangannya bergerak mengusap dadanya, berusaha untuk tetap sabar menghadapi sikap Arman kepadanya.
Ia melihat ke arah meja makan, ada makanan yang telah disiapkan oleh Anisa untuk Arman, Adil mendudukan dirinya diatas kursi meja makan, ia memegang gelas yang masih terisi setengah, menatap lurus kedepan, ke arah jendela yang menembus ke halaman belakang, cantik sekali, banyak bunga-bunga, ternyata tidak hanya didepan saja, diarea belakang saja juga penuh dengan tanaman, pantas saja terasa sejuk padahal cuaca diluar panas terik.
Adil menoleh ke arah belakang ketika ia mendengar suara seseorang masuk ke dapur, Arman, ia kini memakai setelan futsal, dibahunya menggantung Hoodie berwarna kuning mustard, langkahnya terhenti ketika melihat Adil sedang duduk dikursi meja makan, Arman berdecak kemudian memutar matanya, ia mengambil satu botol air, entah apa yang dia masukan kedalamnya, menuangkan air lalu mengocoknya Selama beberapa saat.
“Kak!.” Panggil Adil saat Arman hendak keluar dari dapur, Langkahnya terhenti.
“Tante Anisa tadi ngasih aku amanat.”
“Apa? Cepet jangan lama-lama!.” Jawab Arman ketus.
“Dia nyuruh Kakak buat makan dulu sebelum pergi futsal.” Arman membalikan tubuhnya menghadap Adil, wajahnya terlihat tidak senang.
“Yaudah ambilin aja, pake wadah, biar gw bawa ke lapang!.” Baru kali ini Adil mendengar Arman berbicara lebih dari dua kata, senyum Adil mendadak merekah, ia mengangguk kemudian mengambil wadah dan memasukan nasi dan lauk untuk Arman. Adil memasukan wadah itu kedalam sebuah tas kecil yang menggantung didekat lemari, ia kemudian berjalan mendekat ke arah Arman dan menyodorkan tas itu, Arman hanya menatap Adil, tatapannya kosong tidak bisa diartikan.
“Siapa yang bikin?.” Tanya Arman.
“A-..” Belum sempat Adil menjawab, tangan Arman menampar tas berisi wadah itu, tangan Adil belum siap dan kaget, wadah berisi nasi itu terlempar ke lantai, badan Adil melonjak kaget, ia tidak percaya dengan apa yang ia lihat, perasaan ia tadi menutup wadahnya dengan rapi dan tidak bercelah, tapi kini, wadah itu terbuka dengan nasi dan lauk yang berceceran di lantai, ia menatap tidak percaya pada Arman.
“Itu buatan Tante Anisa!.” Ujar Adil, ia kemudian menutup mulutnya, seketika, pandangan Arman berubah, matanya yang tadi tidak berekspresi kini mendadak menatap nanar pada nasi dilantai, mulutnya sedikit terbuka, ia dengan cepat melemparkan Hoodie dibahunya kemudian mendekat dan berjongkok didekat nasi di lantai, Adil juga sama, ia langsung mendekat dan berjongkok, sama sama tidak tahu, kepala mereka berdua saling bersentuhan dengan lumayan keras, keduanya mengeluarkan suara lenguhan sakit sambil mengusap kepala masing-masing.
“Ngapain sih lu bego!.” Ujar Arman kesal.
“Kak Arman ngapain pake lempar nasi ini ke lantai juga!.” Adil menjawab, tangan mereka berdua masih bergerak mengusap kepala sambil meringis.
Adil dan Arman mulai memasukan kembali makanan yang berceceran dilantai kedalam wadah, hanya sebagian yang masuk, sisanya sudah kotor dan tidak layak untuk dimakan. Arman berdiri, menutup wadah makanan itu kemudian mengganti tas kecil yang sudah kotor dengan yang baru.
“Mau dikemanain?!.” Tanya Adil.
“Mau gw bawa ke lapang lah,!.”
“Kotor itu Kak!, buang aja!.”
“Enak aja, buatan bunda ini, gak boleh disia-siain!, udah, lu gak usah ngatur gw, beresin itu yang kotor dilantai, gw udah telat!.” Ketus Arman, ia kemudian berlalu meninggalkan Adil yang harus membereskan kekacauan didapur.
“Kenapa Den?!!.” Bi Minah masuk dan melihat kekacauan di dapur.
“Tumpah Bi, barusan Adil buatin bekel buat Kak Arman, tapi malah jatoh ke lantai.”
“Aduhhh, kok bisa sih Den?? Licin ya lantainya?, udah, biar Bibi aja yang beresin, Aden awas!.” Titah Bi Minah, Adil mengangguk kemudian memberi ruang untuk Bi Minah, ia tidak serta Merta pergi dari dapur dan meninggalkan kekacauan yang ia buat.
“Adil bantuin aja Bi! Nggak enak, masa Adil yang buat kacau, tapi malah Bibi yang beresin?.”
“Ehh, kan ini udah tugas Bibi den!.”
“Jangan panggil Aden ah Bi, panggil Adil aja.”
“lho? Kenapa Den?.”
“Adil nggak nyaman aja Bi, Adil bukan Aden, Adil cuman orang biasa.” Bi Minah tersenyum kemudian mengangguk.
“Yasudah, kalo kamu memang nyamannya begitu, mulai sekarang kamu Bibi panggil Adil aja deh, ya?.” Adil mengangguk sambil tersenyum, ia membantu membersihkan nasi yang menempel di lantai, hanya itu karena setelahnya, Bi Minah memaksa Adil untuk keluar dari dapur dan membiarkannya sendiri yang lanjut membersihkan lantai, tidak bisa menolak, Adil akhirnya setuju dan kembali masuk kedalam kamarnya.
Adil membuka jendela kamarnya, melihat ke arah luar, dari atas terlihat Arman sedang duduk dikursi dekat pintu rumah, ia sedang menelpon seseorang sepertinya, Adil kira Arman sudah berangkat dari tadi, ia memandangi Arman dari atas, tengkuk Arman yang putih bersih, padahal setiap hari motoran, betisnya yang berbulu lebat, terlihat saat Arman memakai kaos kaki dan sepatu, Arman kemudian menaiki motornya, menggantungkan tas kecil berisi bekal itu dimotor dan mulai melaju meninggalkan area rumah. Suara ketukan kembali terdengar dipintu kamarnya.
“Ya Bi?!.” Ucap Adil sambil membuka pintu kamarnya.
“Adil mau makan? Bibi siapkan ya? Mau dianterin kesini?.” Tawar Bi Minah, Adil tersenyum kemudian menggelengkan kepalanya.
“Nggak dulu Bi, Adil masih kenyang, nanti aja kalo Adil laper, Adil ngambil sendiri ke dapur.”
“Beneran?.” Adil mengangguk.
“Yasudah, kalo gitu Bibi buatkan jus saja ya?, Biar seger, jangan nolak, nanti Bibi bawakan kesini.”
“Gak usah dibawa ke sini Bi, Adil mau turun aja ke bawah, mau nonton tv aja, biar Bibi nggak bolak balik naik turun tangga, kasian.” Jawabnya, Bi Minah mengangguk, Adil keluar dari kamarnya kemudian turun kebawah bersama Bi Minah.
To be continue...
********
Bebeppp!!! update beppp!!1
Fyi, ini chapter fav aku nihh, awal mula bumbu bumbu asmara dari kedua karakter utama cerita ini dimulai, huhuhuh, seneng banget aku nulisnya, semoga kalian suka yaaa bepp.
jangan lupa buat di vote dan komenn biar author makin semangat nulisnya.
selamat membaca!
iloveyou.

KAMU SEDANG MEMBACA
Arman
RomanceBercerita tentang Adil yang sejak kecil hidup susah setelah ditinggal Ayahnya hingga ia hampir putus sekolah ketika ia SMA, sehingga mau tidak mau ia harus bersedia untuk di urus dan disekolahkan oleh orang tua angkatnya, ia kira hidupnya akan mulai...