Guysss!!!, chapter kali ini pendek dulu aja ya, soalnya cuman penceritaan chapter kemarin dari sudut pandang ke tiga.
Dan satu lagi, adegan yang kalian tunggu tinggal menghitung beberapa chapter lagi, antara di 23,24,atau25 yaaa, ditunggguu!!!!!!!!!
Yuk ah cuss langsung ke cerita...
CHAPTER 21
THIRD POV
Dingin udara subuh membuat badan Arman yang tadi malam menggigil demam kini merasa dingin, badannya terasa sakit semua, bahkan hanya untuk menggeser tubuhnya saja rasanya sangat berat, ia membuka matanya perlahan, cahaya lampu terang yang silau membuat matanya memicing, perlahan ia membiasakan matanya, sesuatu yang basah terasa menempel di keningnya, tangan kanannya ia angkat dan meraba benda yang menempel dikeningnya itu, sebuah kain basah, ia mengambil kain itu, sudah dingin terasa, mengusap keningnya yang basah lalu melemparkan kain itu ke lantai, saat ia hendak menarik tangan kirinya, terasa sebuah genggaman ditangan, Arman menoleh ke arah samping, Adil, awalnya ia kaget, dan sedikit kesal, sedang apa Adil tidur disitu, ia mencabut genggaman tangannya dari tangan Adil, melihat ke arah bawah, kapas-kapas bekas membersihkan luka terlihat, ia baru sadar, luka ditangannya sudah diobati ternyata, padahal semalam ia langsung tertidur, atau pingsan, entahlah, yang pasti, sesaat setelah ia berbaring dikasur, semua niatnya untuk membersihkan lukanya sendiri hilang entah kemana.
Tersadar atas apa yang terjadi, Arman terdiam, kepalanya masih terasa sedikit pusing, ia menatap ke arah samping, menatap Adil yang masih tertidur dengan damai, Arman baru sadar, ternyata Adil terlihat begitu tak berdosa ketika ia tidur, bulu mata lentiknya, hidung mungil Adil, serta nafasnya yang lembut, ia merasa berdosa setelah beberapa minggu kebelakang berlaku kasar dan dingin kepada Adil, tapi kembali lagi, memang itu sifat Arman, tidak mudah untuk luluh, apalagi jika merasa tersaingi, terlebih merasa tersaingi dalam hal meraup kasih sayang kedua orang tuanya, ia merasa takut, takut jika orang baru yang datang kerumahnya akan mengambil hak kasih sayang orang tuanya, jangankan kepada orang baru, dulu, kepada adiknya sendiri saja ia sering cemburu, adik, ah, mata Adil menatap ke arah langit langit kamar, barusan ia bermimpi berjumpa lagi dengan adiknya, betapa tidak inginnya ia untuk bangun, meskipun ia sadar apa yang dilihatnya hanya sebatas bunga tidur, rasanya ia ingin memejamkan mata saja selamanya, tidak ingin sadar dan terbangun lagi.
Arman mengambil kembali tangan Adil dan menggenggamnya erat, menyalurkan kehangatan lewat genggaman itu, Arman menarik selimut yang menurun, menyelimuti tubuh mereka berdua, ia memutuskan untuk kembali tidur, karena ia yakin, hari ini mereka berdua tidak akan berangkat sekolah, setidaknya ia yang sudah yakin.
Terasa seperti baru saja Arman memejamkan mata, rasa tidak nyaman didadanya terasa sekali, berdenyut dan nyeri, matanya terbuka, selimut sudah berada dibawah lehernya, pantas saja gerah terasa, ia menoleh ke samping, sudah tidak ada Adil, melepas selimut kemudian terduduk diatas kasur, menatap ke arah jam waker diatas meja, sudah setengah tujuh saja, ia turun dan keluar dari kamar.
“Kak Mira udah berangkat Bi?.” Tanya Arman ketika ia berada di dapur.
“Ehh, Den Arman, udah bangun toh, gimana udah mendingan badannya?.” Arman mengangguk.
“Lumayan Bi, masih agak nyeri dada Arman, pada kemana nih? Sepi banget.”
“Kak Mira lagi diluar tuh, sama Adil, katanya tadi Adil minta ajarin buat pesen ojek online.” Alis Arman bertaut heran.
“Ojek online? Mau kemana emangnya?.”
“Ke sekolah atuh, kemana lagi?.”
“Adil berangkat sekolah?.” Bi Minah mengangguk, dengan terpogoh Arman berlari, meski dengan kaki pincang, ia tetap memaksakan berlari, ia tidak akan membiarkan Adil berangkat ke sekolah sendirian, tidak bisa, suasana masih panas, dan geng Pras bisa saja masih dendam lalu tidak sengaja melihat Adil yang sendirian, apa tidak habis nantinya Adil, Arman tidak bisa membiarkan hal itu terjadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arman
RomanceBercerita tentang Adil yang sejak kecil hidup susah setelah ditinggal Ayahnya hingga ia hampir putus sekolah ketika ia SMA, sehingga mau tidak mau ia harus bersedia untuk di urus dan disekolahkan oleh orang tua angkatnya, ia kira hidupnya akan mulai...