I want you (End)

64 13 0
                                    

Sambil menatap langit-langit kamar, dan memandang sekeliling tiba-tiba aku melihat sebuah kotak di samping lemari tertuliskan Valerie stuff. Yang membuatku tertarik akan isinya.

Tiba-tiba terlintas ide untuk memeriksa kotak itu, di dalamnya terdapat beberapa barang-barangku yang ku tinggalkan sebelum aku pergi ke jerman.

Aku menemukan jurnalku yang berisikan catatan-catatan kecil dan beberapa email dan password yang ku gunakan dulu.

Seketika aku penasaran ingin membuka satu per satu akun emailku untuk memeriksa drivenya, aku mulai membuka email utama lamaku yang sudah lama tak pernah kujamah sejak pindah ke Jerman.

Email itu dulu sering aku gunakan saat masih di Jakarta, tapi setelah beradaptasi dengan kehidupan di Jerman, aku hampir melupakan eksistensinya.

Dengan rasa penasaran, aku membuka laptopku dan mulai login ke akun email tersebut. Prosesnya agak lambat, mungkin karena terlalu banyak email yang menumpuk selama bertahun-tahun.

Saat akhirnya terbuka, aku terkejut melihat banyak sekali pesan yang belum terbaca.

Dan yang lebih mengejutkan lagi, di antara semua email itu, banyak pesan dari Pak Jeffrey.

Hatiku langsung berdebar-debar melihat namanya di inboxku. Email-email itu dikirim sepanjang tahun pertama aku di Jerman, menanyakan kabarku, bagaimana aku menjalani hidup di sana, dan yang paling mengagetkan, dia mengatakan bahwa perasaannya terhadapku tidak pernah berubah.

Dia terus bertanya apakah aku baik-baik saja, dan bagaimana dia merasa kehilangan setelah aku pergi tanpa memberikan kesempatan bagi kami untuk menyelesaikan semuanya.

Aku menelusuri satu per satu pesan itu, membaca kata-katanya yang terasa begitu tulus dan penuh perasaan.

Ada pesan-pesan di mana dia bercerita tentang kesibukannya, tapi selalu diakhiri dengan pertanyaan tentangku—tentang apakah aku sudah bahagia di sana.

Dia mengatakan bahwa dia menyesal tidak pernah punya kesempatan untuk benar-benar jujur padaku sebelum aku pergi bahkan sebelum aku memulai hubungan dengan Pak Bront.

Dan meskipun aku tidak pernah membalas pesan-pesannya, dia tetap menulis, berharap suatu hari aku akan membaca semua itu.

Aku merasa bersalah. Bukan karena aku pergi, tapi karena aku tidak pernah membuka diri untuk mendengarkan atau membalasnya.

Selama ini, aku pikir dengan meninggalkan Jakarta dan memulai hidup baru di Jerman, aku bisa melupakan semuanya.

Tapi ternyata, kenangan dan perasaan itu tetap melekat, bahkan meskipun aku berusaha sekuat tenaga untuk tidak memikirkannya.

Aku menutup laptopku perlahan, kepalaku masih dipenuhi oleh semua pesan yang baru saja kubaca.

Di satu sisi, aku bingung kenapa Pak Jeffrey tetap bertahan dengan perasaannya, padahal aku sudah berusaha menjauh selama ini.

Semua perasaan itu seolah kembali menghantam, membuatku gelisah.

Aku menarik selimut dan memejamkan mata, mencoba untuk tidak terlalu memikirkan semuanya malam itu. Namun, pikiranku terus berputar.

Kata-kata dalam email itu terus bergema di kepalaku, seolah memaksa untuk dihadapi. Setelah beberapa menit yang terasa seperti berjam-jam, aku menyadari bahwa aku tidak akan bisa tidur. Aku harus melakukan sesuatu.

Dengan hati yang masih kacau, aku memutuskan untuk keluar dari kamar. Aku berjalan cepat menuju kamar Kana dan Tito, tanpa memikirkan waktu atau situasi. Sesampainya di depan pintu, aku mengetuk dengan pelan tapi tergesa.

Finding Mr Right • Jeffrey Dean Morgan •  Bront Palarae•Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang