09

229 25 1
                                    

Hari baru dimulai dengan ketegangan yang masih menyelimuti seluruh ruangan. Zayyan, Wain, Hyunsik, dan teman-teman mereka tampak cemas, tetapi tetap berusaha untuk bersikap biasa. Mata mereka saling bertukar pandang dengan penuh waspada setiap kali mendengar suara kecil di sekitar mereka, membuat suasana semakin mencekam.

Saat semua orang berkumpul di ruang tengah, Leo muncul dengan membawa beberapa makanan ringan. "Sarapan dulu, guys. Kita nggak bakal bisa mikir kalau kelaparan," katanya, mencoba meringankan suasana.

Namun, tidak ada yang benar-benar nafsu makan. Zayyan mengambil sepotong kecil roti, tetapi rasa mual dari kecemasannya masih menghantui. Wain terus melirik Zayyan, khawatir asmanya bisa kambuh lagi sewaktu-waktu, tapi dia tetap diam, menghormati janji mereka dari malam sebelumnya.

Setelah sarapan yang penuh kecanggungan itu selesai, Davin, yang biasanya ceria, terlihat muram. "Gue nggak suka ini. Ada yang nggak beres," katanya tanpa basa-basi.

Zayyan menatapnya sejenak, mencoba meredakan ketegangan. "Iya, gue ngerti, Davin. Tapi kita nggak bisa cuma duduk-duduk di sini. Kita harus cari tahu siapa yang ngelakuin ini dan kenapa."

Davin mengangguk, meski wajahnya masih diliputi kegelisahan. "Lo benar. Tapi... gue ngerasa kayak ada yang kita lewatin, sesuatu yang penting."

Mendengar itu, Zayyan dan Wain saling berpandangan. Zayyan tahu betul bahwa mereka memang sedang melewatkan satu hal-rahasia asmanya-tetapi itu bukan hal yang bisa dia bagikan begitu saja.

Setelah suasana ruang tengah sedikit tenang, Hyunsik melirik jam dinding. "Waktu kita nggak banyak, kita harus siap-siap berangkat sekolah sekarang," katanya dengan nada datar, namun jelas ada kecemasan yang dia sembunyikan.

Zayyan, yang duduk di sofa, menghela napas pelan. "Gue nggak tahu gimana kita bisa fokus di sekolah hari ini," katanya lirih sambil mulai beranjak dari tempat duduknya. Dia memungut tas yang tergantung di sandaran kursi.

Wain berdiri di sampingnya, menepuk bahunya pelan. "Mungkin pergi ke sekolah bisa bikin kita lupa sejenak soal ini semua. Nggak nyaman juga di sini terus, kan?"

"Ya," sahut Leo yang sedang merapikan beberapa buku ke dalam tasnya, "siapa tahu di sekolah kita bisa dapet petunjuk atau seenggaknya mengalihkan pikiran."

Hyunsik, yang sudah siap sejak tadi, menatap ke arah mereka. "Jangan lupa, kita tetap harus waspada. Siapa pun yang ngelakuin ini, jelas dia tahu gerak-gerik kita."

Dengan sedikit rasa malas, yang lain mulai bergerak. Tas-tas segera diambil, sepatu dipakai, dan tanpa banyak bicara lagi, mereka semua keluar dari kamar asrama. Kaki mereka berderap di koridor yang sepi, suara langkah-langkah mereka terdengar bergema di dinding-dinding dingin bangunan tua itu. Matahari pagi yang biasanya cerah tak berhasil menyingkirkan kecemasan yang menyelimuti hati mereka.

Saat mereka mendekati gerbang depan asrama, suasana hening itu terpecah oleh suara Zayyan yang tiba-tiba menghentikan langkah. "Eh, sebentar. Gue lupa sesuatu di loker," katanya. "Gue bakal nyusul, kalian duluan aja."

Wain dan yang lain menatapnya dengan sedikit khawatir, tetapi Hyunsik hanya mengangguk. "Jangan lama-lama," katanya singkat.

Zayyan segera berbalik menuju loker pribadinya yang ada di dekat pintu asrama. Saat dia tiba di sana, dia merasakan sesuatu yang aneh. Ada amplop kecil terselip di antara buku-bukunya. Tangannya gemetar saat dia mengambil amplop itu dan membuka isinya.

Di dalamnya, hanya ada satu pesan dengan tulisan besar yang mencolok:

"Satu per satu akan jatuh. Waktumu semakin dekat."

Jantung Zayyan berdegup kencang. Pesan itu terasa seperti ancaman langsung kepadanya, seolah-olah seseorang sudah mengawasi setiap langkah mereka. Tanpa berpikir panjang, Zayyan buru-buru memasukkan surat itu ke dalam saku jaketnya dan keluar, menyusul teman-temannya.

VEGEANCE ( xodiac )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang