Epilog

978 152 19
                                    

Tiga bulan telah berlalu. Kini keluarga kecil kami sedang berada di Jerman, sudah tiga hari kami habiskan untuk liburan di sini bersama Bang Al dan Shazia, rasanya penuh kebahagiaan dan momen baru yang menyenangkan. Kami sudah menjelajahi berbagai kota, mulai dari desa-desa kecil di sepanjang Sungai Rhine hingga jalanan sibuk Berlin.

Malam ini, setelah menidurkan Shazia di kamar Grandma, aku menemani Bang Al duduk di balkon kamar. Namun tiba-tiba ada satu tempat yang muncul di pikiranku. Tempat yang dulu pernah jadi bagian dari kehidupanku di sini. Tempat di mana aku bisa membiarkan adrenalin ku mengalir, jauh sebelum menikah dengan Bang Al.

Aku pun menatap ke arah Bang Al yang sedang menyesap kopinya sambil menikmati udara malam Jerman."Sayang," panggilku.

Bang Al menoleh. "Kenapa Sayang, hm?"

“Sha pengin ajak Abang ke suatu tempat,” balasku diakhiri senyuman.

Bang Al menatapku dengan ekspresi heran.“Tempat apa?”

Aku tersenyum menatapnya."Sha bakalan kasih tahu, kalau Abang mau ikut sama Sha sekarang."

"Yasudah, aku mau ikut," balasnya.

Aku pun tersenyum senang mendengarnya. Kemudian kami melangkah keluar kamar. Namun sebelum benar-benar pergi, aku mengetuk kamar Nicko terlebih dahulu yang berada di samping kamar kami. FYI, sepupuku itu sudah lama tinggal bersama Grandma semenjak aku tidak lagi tinggal di Jerman, sebab Nicko tidak ingin Grandma kesepian.

Tidak berselang lama Nicko membuka pintu kamar. Kemudian aku meminta  kunci mobilnya untuk ku pinjam pergi ke tempat yang hendak ku kunjungi itu. Nicko awalnya ragu memberikan kunci mobilnya, akan tetapi akhirnya dia setuju ketika aku membisikan tempat yang hendak ku kunjungi itu untuk mengenalkannya kepada Bang Al. Setelah itu, aku dan Bang Al pun langsung pergi dari rumah lalu menaiki mobil Lamborghini Aventandor S berwarna hitam milik Nicko.

"Gimana Bang Al, seru kan naik Lamborghini?" tanyaku sembari fokus menyetir.

"Seru sih, tapi kecepatan nya bisa turunin nggak Sayang? Jangan ngebut, kecepatan standar aja!" balas Bang Al.

Aku menoleh sekilas sembari tertawa."Haha... iya, sorry. Sha lupa karena udah kebiasaan, kalau nyetir mobilnya Nicko suka ngebut, mobil ini juga pernah Sha pakai balapan."

Setelah mengatakan itu aku pun menurunkan kecepatan mobil. Ketika menoleh ke arah Bang Al, dia terlihat fokus menatap jalanan di depan mobil, tak terlalu ramai meski malam baru saja mulai. Angin malam Jerman berhembus sedikit dingin, bibirku tersenyum menatap jalanan di depan sehingga membuatku bernostalgia, seolah sedang melihat bayangan masa lalu yang tergambar di tiap sudut kota. Di salah satu ujung jalan, aku membelokkan kemudi menuju sebuah area yang Bang Al sama sekali tidak tahu—gedung-gedung tinggi mulai berganti dengan bangunan pabrik tua dan jalan kosong yang luas.

"Sayang, sebenarnya kita mau kemana?" tanya Bang Al penasaran, terlihat sedikit cemas melihat jalanan semakin sepi.

Aku tersenyum kecil, mataku berbinar mendengarnya."Ada satu tempat yang harus Sha tunjukkan sama Abang. Dulu, sebelum Sha pulang ke Jakarta dan menikah, Sha sering ke sini."

"Maksud kamu di tempat jalanan sepi seperti ini?" tanya Bang Al.

Aku mengangguk."Kita hampir sampai. Ini tempat balapan mobil liar Black Glory dulu, di sini Sha sering balapan mobil liar waktu itu. Abang tahu, kan, kalau dulu Sha belum hijrah, jadi masih bebas hidupnya, tapi tahu batasan kok."

Bang Al terlihat terkejut. Aku tertawa kecil, mengenang masa-masa itu. "Nama tempatnya Schwarzstrecke. Kalau malam, banyak pembalap liar dari berbagai geng mobil balap liar lainnya, dan tempat berkumpul kami untuk ngetes nyali."

Pelabuhan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang