#31 Bunda

88 10 8
                                    

Lelaki berjas mempersilakan seorang wanita masuk ke dalam sebuah ruangan. Setelah keduanya duduk berhadapan, Saguna datang menyusul dan ikut duduk di samping Ashe.

"Selamat siang, Pak Anggara." sapa Ashe tersenyum dijawab Anggara yang juga menampilkan senyuman.

"Selamat siang." ujar Anggara. "Terima kasih karena sudah menyempatkan hadir untuk menemui saya, walau saya selalu berharap pertemuan kita bukan karena kasus yang dilakukan Saguna lagi dan lagi." tambah Anggara dan keduanya pun berjabat tangan.

Ashe mengangguk samar sedangkan Saguna diam tak bersuara.

"Bagaimana kabarnya, Bu?" tanya Anggara berbasa-basi.

"Baik. Kami sekeluarga baik-baik saja." jawab Ashe.

"Kalau begitu, mari kita mulai. Sebelumnya Saguna memaksa ingin melihat rekaman cctv, setelah itu Saguna mendatangi salah satu kelas dua belas dan memukuli seorang murid laki-laki. Apa itu benar, Saguna?" kata Anggara meminta Saguna mengucapkan sesuatu. Namun tak berubah, Saguna tetap bungkam.

"Jika dirasa apa yang saya ucapkan kurang tepat, atau tidak seperti yang sebenarnya terjadi. Maka kamu bisa menambahkan atau menceritakan kejadiannya kepada kami, Saguna." ujar Anggara.

Merasa Saguna berlaku aneh. Ashe menatap putranya lekat, tangannya menyentuh lembut tangan Saguna di bawah meja, mencoba menenangkan.

"Itu semua benar." jawab Saguna datar.

"Kenapa kamu melakukannya?" tanya Anggara.

"Bukankah anda tau alasan mengapa saya melakukannya?" tanya Saguna balik.

"Saguna..." ucap Ashe pelan.

"Tetapi kamu tidak bisa sembarangan memukuli dan menghajar teman kamu sendiri, Na."

"Saya melakukan sesuatu yang menurut saya benar."

"Kekerasan bukan hal yang benar!"

"Sebentar, Pak." kata Ashe menghentikan ucapan Anggara yang membentak Saguna. "Saya harus mendengar cerita kejadian secara lengkap. Jika putra saya mengatakan apa yang dilakukannya benar, maka biarkan saya mengetahuinya." lanjut Ashe.

"Freya." ujar Saguna membuat Ashe menoleh.

"Orang itu diam-diam menempel kata-kata kasar di mading sekolah, untuk Freya. Mencoret foto Freya dan mau membayar harga diri temannya sendiri. Mempermalukannya di depan umum." ujar Saguna menekan kata-kata yang sempat Anggara lontarkan padanya.

Menyebut si pengecut tersebut sebagai temannya. Yang benar saja, teman?

"Jadi di mana letak kesalahan Saguna, Pak Anggara?" tanya Ashe membuat Anggara terlonjak kaget.

"Sudah saya tegaskan kalau kekerasan bukan jawaban dari semua masalah." jawab Anggara.

"Pertanyaannya, apa ada tindakan dari anda sendiri tentang hal tersebut?" tembak Ashe. Anggara seakan kehilangan semua kosa kata. Kamus bahasanya terlempar jauh, mulutnya seketika tak bisa dibuka dan tertutup seperti seseorang telah mengoleskan lem perekat.

"Saguna tidak akan bertindak kejauhan kalau saja pihak sekolah mengerjakan tugasnya sebagai penanggung jawab." kata Ashe hingga Saguna menoleh menatap wanita tersebut.

"Yang saya heran. Mengapa hanya Saguna yang sekarang dipanggil ke ruang kepala sekolah, di mana siswa yang bersangkutan?" tanya Ashe mencari ke kiri dan ke kana menunjukan pada Anggara bahwa hanya Saguna dan dirinya yang dipanggil.

"Kami akan memproses siswa tersebut juga, tetapi Saguna saya dahulukan karena emosi serta kelakuannya sedang tidak terkontrol." jawab Anggara mencoba menjelaskan.

Saguna Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang