Chapter - 35
Hari ketiga Disha dirawat di rumah sakit. Kondisinya semakin membaik. Dokter mengatakan jika besok ia diperkirakan bisa pulang. Mendengar kata pulang, Disha terpikirkan kemana dia harus pulang setelah ini? Ke rumah yang ia tinggali bersama Arva? Sampai detik ini ia belum bertemu dengan pria itu. Arva juga tidak menunjukkan batang hidungnya di depan kamar inapnya. Terakhir kali yang ia dengar dari Mitha, adiknya itu menyuruh Arva untuk mengatasi berita miringnya sebelum berani menampakkan diri di hadapan Disha. Disha menilai tindakan adiknya sudah tepat. Ia juga membutuhkan ruang dan waktu sebelum siap bertemu dengan laki-laki itu.
Kemarin adiknya juga menyampaikan jika keluarga Arva sempat datang untuk menjenguknya. Disha terkejut karena ia tidak tahu kedatangan mertuanya. Mitha bilang, keluarga Arva datang saat dirinya sedang tidur –efek obat yang dikonsumsinya memang membuatnya mengantuk dan tidur pulas. Mitha menyebutkan jika keluarga Arva terlihat sungkan berlama-lama karena tatapan tajam papinya yang seolah siap membunuh kapanpun. Keluarga Arva hanya bertahan selama 20 menit. Disha tertawa kecil melihat bagaimana Mitha berusaha mencontohkan tatapan mematikan ayah mereka. Adiknya itu berusaha keras sekali untuk membuatnya tertawa.
Arva masih mengirimkan pesan ke nomernya, tapi tidak Disha buka bahkan tidak digubris sama sekali. Disha masih membutuhkan ketenangan untuk batinnya.
Di kamar inapnya, Disha hanya sendiri. Ditemani televisi yang sedang menyala. Sekitar 30 menit yang lalu ia meyakinkan Mama Kamala bahwa dirinya baik-baik saja ditinggalkan sendiri. Mamanya itu hendak menjenguk sanak saudaranya yang kebetulan juga dirawat di rumah sakit ini. Ia mengatakan jika dirinya baik-baik saja untuk ditinggalkan, lagipula bodyguard papinya masih senantiasa berjaga di depan. Papinya itu sama sekali tidak menurunkan pengawasan.
Hari sudah menjelang petang. Disha bisa melihat langit jingga dari jendela kamar inapnya. Langit senja itu menjadi pusat pandangan Disha. Kendati pikirannya tidak berada di sana, matanya masih memandang lurus pada langit.
Lara mulai merambati hatinya. Berhari-hari Disha mencoba mengabaikannya. Tampaknya kali ini sengsara di hatinya itu ingin diperhatikan. Tangannya dengan gemetar menyentuh permukaan perutnya. Tidak lagi merasakan getaran ketika menyentuh bagian itu seperti saat-saat calon buah hatinya masih bersemayam di sana.
Nestapa atas kehilangan itu mulai melambung ke permukaan. Sekuat apapun Disha ingin kabur dari kenyataan itu, pada akhirnya ia tidak bisa mengingkarinya. Kesedihan itu nyata. Perihnya begitu menyatnya. Disha mulai merasakan hancur lebur itu. Hatinya, jiwanya, raganya terasa pilu membiru.
Air matanya mulai merebak. Matanya terasa panas. Kali ini Disha tidak ingin menahannya. Ia biarkan bulir-bulir itu mengalir membasahi pipinya yang menjadi tirus selang beberapa hari ini. Disha tergugu, tubuhnya bergetar menyesakkan. Merasakan jantungnya seperti ditusuk sembilu.
Bahu perempuan itu bergetar. Kepalanya menunduk membiarkan air matanya jatuh ke atas lututnya yang terutup baju pasien. Rasa sakit ketika ia merasakan darah membasahi betisnya begitu kental di ingatannya. Selalu menghantui Disha bahwa bayinya sudah tidak ada lagi bersamanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengikat Hati
General FictionParadisha dan Arvasatya. Dua manusia yang disatukan dalam ikatan pernikahan melalui sebuah perjodohan yang direncanakan oleh orang tua mereka. Perjodohan di kalangan mereka adalah hal yang biasa. Pasangan mereka ditentukan agar mereka memiliki pasan...