33

7.1K 621 66
                                    

Chapter - 33

Arva terduduk lemas di kursi besi yang ada di depan IGD

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Arva terduduk lemas di kursi besi yang ada di depan IGD. Penampilannya masih sama seperti saat keluar dari hotel untuk mengejar Disha. Piyama itu terlihat compang-camping. Sementetara sandal hotel yang dikenakan sudah menghilang sebelah. Arva tidak memedulikan penampilannya. Tidak peduli dengan pandangan orang-orang. Kebisingan di sekitarnya sama sekali tidak mengusiknya. Pandangan lelaki itu kosong lurus ke depan. Ia terlalu sibuk dengan isi kepalanya sendiri.

Berbagai bentuk perandainnya mulai tercipta di kepalanya. Andai ia tidak meminta Disha untuk menyusul ke Malang dengan harapan mereka bisa melakukan liburan singkat. Andai ia tidak ikut acara di bar semalam. Andai ia tidak melangkah mundur saat Binar mengetuk pintu kamarnya, membuat perempuan itu masuk hanya karena takut perangsang yang masuk ke dalam tubuhnya masih berefek. Sayangnya semua perandaian itu hanya selalu menjadi kata andai. Semua sudah terjadi. Dan sekarang istrinya itu terbaring di dalam sana karena salah paham terhadap apa yang dilihatnya.

Arva mengusap wajahnya kasar. Kemudian beralih meremas rambutnya, berusaha mengenyahkan rasa gelisahnya yang menyiksa.

Suara langkah kaki yang tergopoh-gopoh mendekati Arva. Mau tidak mau Arva mengangkat kepalanya saat merasakan kehadiran beberapa orang di hadapannya. Manik Arva menemukan keluarga Disha. Tatapan Praba yang tajam namun menyimpan kemuraman, membuat Arva kembali diserang oleh rasa bersalah.

"Pi, maafin Arva. Arva gagal jaga putri papi" Ucap Arva penuh sesal.

Di sebelah Praba, ada Kamala dan Paramitha yang sudah berurai air mata. Dua jam yang lalu mereka mendapat kabar jika sang putri sulung dilarikan ke IGD karena kecelakaan. Praba dan Kamala yang baru sampai di rumah semalam setelah perjalanan bisnis, langsung bertolak pergi ke Malang. Seperti mimpi buruk bagi Praba. Pria itu pernah mendapat kabar yang hampir serupa. Kala itu ia harus kehilangan seorang istri.

Seorang dokter mendekati mereka. Arva langsung mendekati dokter tersebut, diikuti oleh keluarga Disha yang lain.

"Keluarga Ibu Paradisha?"

"Saya suaminya, dok." Jawab Arva cepat.

Sang dokter mengangguk. Matanya menatap satu persatu orang-orang yang berdiri di hadapannya sebelum menginformasikan kondisi pasien.

"Ibu Paradisha mengalami patah tulang ringan di bagian tangan. Untuk luka lain hanya luka gores. Dan untuk kandungannya, maaf, kami harus segera melakukan tindakan kuretase"

Seperti petir yang menyambar di siang bolong. Penuturan dokter itu berhasil membuat Arva tergugu. Badannya terdiam kaku serta seperti baru saja dilempari oleh berton-ton batu. Kengerian itu terasa begitu menusuk ulu hatinya. Menghujamnya kuat hingga Arva tidak kuasa dengan sakitnya. Arva kehilangan pijakannya. Tubuhnya meluruh ke lantai. Air mata sudah kembali mengalir deras. Napasnya tersendat karena berita yang bagai momok menakutkan itu. Tangannya terkepal kuat sebagai pengalihan untuk mengatasi tubuhnya yang bergetar hebat. Penjelasan dokter itu menambah daftar panjang penyesalan Arva.

Mengikat HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang