Cillision itu terlalu sulit di gambarkan hanya dengan kata kata, Cillision itu terlalu sulit di mengerti dengan pikirannya, Cillision itu terlalu sulit untuk di sentuh dan Cillision terlalu besar hanya dengan sebuah nama.
Mereka bukanlah keluarga yang hanya memiliki uang untuk membeli kebahagian melainkan kehidupan seseorang bisa mereka beli dengan harga murah. Mereka adalah arsitek dari tatanan bangunan yang mengakar kuat di atas tanah dan menggerakannya sesuka hati.
Rumah mereka bukanlah sebuah istana mewah yang melambangkan kekayaan tapi hanya sebuah rumah sederhana yang melambangkan keharmonisan dan kesederhanaan, tampak luar.
Di dalam rumah hangat yang menyajikan marmer dingin sebagai kata sambutan, tidak ada kata kata hangat selain sebuah tuntutan dari tetua penguasa Cillision, Eald.
Retakan retakan tidak terlihat dalam bayang bayang yang menjerat setiap kaki yang menginjak lantai dingin tersembunyi di balik senyum palsu dan kekuasan dengan benang takdir yang mereka sendiri permainan kan namun sulit untuk mereka lepaskan.
Ketika darah Cillision mengalir ke dalam nadi menyalurkan ke seluruh anggota tubuh hanya perpecahan, kemarahan, dan kehancuran yang memakan mereka dari waktu ke waktu, semakin lama menyimpan banyak kebusukan semakin hancur masa yang akan datang.
Kisah ini bukanlah tentang kekuasan ini tentang darah yang mengikat kedua insan yang enggan berpaling dari rahasia yang bisa menghancurkan segalanya.
Menghancurkan apa yang ia pupuk, yang ia tanam, yang ia bangun tinggi tinggi dapat runtuh hanya karena kehadiran anak kecil yang bahkan belum genap 10 tahun.
"Cillision tidak pernah hancur tapi menghancurkan. "
Terlalu menakutkan untuk di usik tapi siapa gerangan yang berani masuk dan mengusik air yang tenang dan melempar batu ke dalamnya?
"Jadi, bocah ini?" Suaranya berat, seperti gemuruh badai yang tertahan. Alderan mengangkat kepalanya, meski lututnya gemetar. Tak ada pilihan lain ia tidak boleh takut saat ini.
"Yang menghancurkan tatanan keluarga Cillision yang terhormat?" Kalimat itu seperti cambuk yang menampar keheningan.
Alderan mengeratkan genggaman pada jemari kecilnya. "Aku tidak pernah meminta untuk datang ke sini jadi pulangkan aku!" suaranya melengking, mencoba mematahkan atmosfer mencekam.
Eald mendekat, setiap ketukan tongkatnya seakan menghitung sisa waktu yang dimiliki bocah itu. "Pulang? Dan membiarkanmu berkeliaran di luar sana, tanpa rantai yang mengikat kaki kecilmu?" Dengus Eald kesal.
"Hanya menghitung hari menuju kehancuran."
"Aku,..." Nadanya pelan penuh dengan keraguan dan kebingungan dengan apa yang terjadi, " Aku tidak ingin berada di sini. " Alderna berusaha berbicara meski pandangannya mulai turun menatap lamat lantai di bawah kakinya.
"Tapi ayah bodohmu yang membawa mu ke dalam kubangan neraka yang di sebut rumah. " Sahut Eald tajam menahan amarah yang siap meletup.
Alderan menggeleng dengan air mata yang mulai menggenang. "To-tolong kembalikan aku ke kakekku!" serunya penuh harap.
"Kau akan memanggilku kakek sekarang. Jadi, apa bedanya?" jawab Eald sambil menyeringai tipis.
"Di sini, kau akan belajar apa artinya menjadi bagian dari Cillision. Mulai sekarang, tidak ada jalan keluar. Ini takdirmu, bocah." Sorot matanya tetap dingin tidak berubah meski ada keenganan di dalamnya, tidak ada pilihan lain.
Alderan menggigit bibirnya, tubuhnya bergetar. Hatinya menjerit ingin lari, ingin kembali ke tempat di mana ia merasa aman sebuah rumah yang selama sepuluh tahun ini ia huni, hanya bangunan sederhana tampak unsur kemewahan di dalamnya tapi menyalurkan rasa aman dan damai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alderan
Short StoryAlderan Cillision, anak tengah dari keluarga Cillision yang terpandang, hidup dalam senyap di antara bayang bayang yang kian besar. Meski segala pendidikan terpenuhi ia harus terus mencari beberapa koin tambahan. Dibalik kediamannya, tersimpan perju...