Di malam yang dingin dan basah diselimuti gerimis halus yang membasahi sepanjang jalan yang mulai sepi tanpa pengguna kendaraan yang berlalu lalang. Lampu lampu tua di sepanjang jalan memantul di genangan air di sepanjang jalan menciptakan bayangan bayangan buram di antara trotoar dan pepohonan rimbun.
Aroma khas air hujan bertemu dengan tanah kering selalu menciptakan momen lama yang kerap hingga datang tanpa di undang tanpa bisa berpaling pada masa kini yang masih menghantuinya. Udara malam yang sejuk semakin membangkitkan kenangan lama yang selama belasan tahun tertutup rapat tanpa ada siapapun yang berani membongkarnya.
Di bawah lampu lama yang meremang, tampak sesosok seorang pemuda yang berdiri diam di antara gerimis yang masih mengguyur tipis tapi tak ayal pakaiannya menjadi lebih lembab. Wajahnya samar terhalang tudung hoodie yang melekat, tapi dengan melihat sekilas saja mata itu mudah saja mengenalinya.
Benar benar mirip,...
Haruskah ia mengabaikan seonggok manusia yang lemah dan penuh harap menatap bangunan sederhana di depannya atau datang dan mengeluarkan segala rasa marahnya selama belasan tahun ini?
Iya benar, bahkan ia sudah tidak memiliki urusan atau alasan yang kuat untuk tetap diam berdiri di bawah jendela lebar dan hanya menikmati semilir angin yang merembat menebus jendela.
Di bawah hujan yang mulai lebat Anita keluar dari sarangnya tidak takut dengan rasa dingin yang menimpa kulit atau gaun malamnya yang basah dan kotor, itu tidak penting sekarang karena yang lebih penting adalah melampiaskan rasa marahnya.
Pemuda itu yang masih pada posisinya menatap tak percaya Anita masih mau bertemu dengannya, "Apa kabar ibu baik baik saja?" Alderan bertanya pelan menatap sendu Anita yang memandangnya dengan tatapan lebih dingin tanpa rasa rindu terpatri.
"Bukan kah ke datanganmu bukan untuk menanyakan kabar ku? Tidak perlu berbasa basi karena kita tidak pernah begitu. " Bukannya menjawab Anita membalik bertanya, "Ayahmu Edward tidak mungkin membiarkan anak kesayangan nya keluar malam malam begini menemui wanita yang ia sebut ibu di kota orang lain. Benarkan?" Alderan mengangguk, seakan kilatan listrik membentang di antara keduanya dan menyalurkan telepati.
"Enggak ada yang tau aku kesini, mungkin sampe satu jam yang akan datang. "
"Jadi untuk apa menemui ibu yang tidak pernah memadangmu?" Anita melipat tangannya di dada, terlihat angkuh penuh percaya diri. "Itu yang ingin aku tanyakan, siapa aku?" Pupil mata Anita sedikit melebar tidak menduga hari ini akan tiba dan anak ini yang tau sendiri jika seperti ini bukanlah salahnya jika bicara seenak hatinya kan?
"Kenapa semua orang menatapku berbeda? Apa benar aku anak pungut? Dan dimana orang tuaku? Apa mereka masih hidup?" Pertanyaan beruntun yang Alderan coba tahan akhirnya keluar ia benar benar berharap mendapatkan jawaban yanh memuaskan.
"Iya kau hanya anak pungut yang di beli dengan harga mahal karena itu Cillision harus memanfaatkan mu dengan baik. "
DEG
DEG'Semuanya sudah masuk akal sekarang'
"Orang tuamu sudah mati, tidak ada yang tersisa bahkan hanya selembar surat, haha,..." Anita tertawa mengejek senang sekali melihat orang yang menjadi penyebab penderitaannya mendapatkan penderitaan yang lebih.
"Dimana mereka?" Alderan menahan nafas mencoba untuk bersikap tenang agar mendapatkan lebih banyak informasi. "Entah, itu bukan urusan ku!" Acuh Anita mengabaikan tatapan penuh harapan pemuda di depannya.
"Lalu kenapa kalian membawaku ke dalam rumah itu? Jika pada akhirnya semuanya bersikap berbeda padaku? KENAPA KALIAN MEMBAWAKU!" Alderan mulai meneteskan air mata yang ia tahan, "Hah, Alderan ku pikir kamu pintar tapi ternyata hanya tong kosong. " Anita menghela nafas mengejek Alderan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alderan
NouvellesAlderan Cillision, anak tengah dari keluarga Cillision yang terpandang, hidup dalam senyap di antara bayang bayang yang kian besar. Meski segala pendidikan terpenuhi ia harus terus mencari beberapa koin tambahan. Dibalik kediamannya, tersimpan perju...