Bab 32 : Hanaya

286 37 2
                                    

Di sebuah desa kecil yang tersembunyi di balik butik butik hijau yang seolah tersembunyi dari sibuknya dunia. Kabut tipis kerap kali menyelimuti rumah rumah kayu yang berdiri memanjang sepanjang jalan dengan rapih.

Suara ramai yang di hasilkan hewan hewan ternak milik warga bergantian dengan gelak tawa anak anak kecil yang bermain riang di sekitar halaman rumah mereka uang cukup luas menandakan hari baru tengah di mulai.

Meski jauh dari hiruk pikuk perkotaan yang keras dengan mata uang sebagai acuan tidak membuat mereka bersenang hati, kesusahan juga mereka rasakan. Ladang ladang kecil yang terbentang di lereng lereng bukit tertanami berbagai aneka sayuran dan buah buahan segar.

Namun hasil panennya tidak pernah terasa cukup mengisi kantong mereka tidaklah heran jajaran rumah kayu sederhana yang lapuk dan tampak reyot tidak pernah tersentuh perbaikan.

Matahari yang terik di siang hari tidak mampu menghangatkan hati mereka yang telah terbiasa hidup dalam kekurangan, wajah wajah datar nan dingin menjadi pemandangan yang biasa di jumpai terlalu malas untuk bertegur sama satu sama lain.

Di salah satu rumah yang tidak kalah kecil dari yang lain, seorang wanita bangun pagi pagi sekali menyiapkan barang barang yang akan ia jual ke pasar. Sementara di sisi ujung yang lain seorang wanita lain yang tampak lebih tua tengah terbaring lemas, nafasnya berat penuh dengan rasa sakit di setiap hembusnya.

Rumah mereka sederhana dinding kayu mulai mengelupas dengan atap yang bocor kala hujan datang atau gendeng yang bertebrangan saat angin berhembus kencang.

Ketika suara kicauan burung terdengar saling bersautan menciptakan harmoni yang indah mengalun dari sisi sisi pohon rimbun nan hijau menyejukan mata dan pandangan. Rumah rumah sederhana memenuhi mata memandang, anak anak yang berlari dengan gelak tawa terdengar saling berlari, bersepeda atau hanya bermain main kecil di halaman rumah.

"Kemarin anak ku bermain dengan anaknya Hanaya. "

"Ah, anak yang selalu membicarakan Ayah ya. "

"Iya, kemarin dia bilang ayah ya akan datang dan membawakan mobil mobilan yang bisa jalan sendiri. "

"Hey, mana mungkin ada yang begitu. "

"Tentu saja, kalau di tarik Adit juga punya. "

"Tapi yang aku bingung Ayah ya kenapa tidak pulang pulang?"

"Eh, belum dengarnya. Katanya Hanaya hanya jadi yang ke dua. Jika anak itu tidak lahir Hanaya akan di buang. "

"Wah, seriusan? Pantas saja. "

"Makanya jangan mau menikah dengan orang kota kaya raya yang ada kita akan di injak injak. "

Karena kebayakan dari mereka melihat manusia hanya dari nilai yang bisa mereka berikan, besar kecilnya hanya mereka yang bisa menentukan, "Kasihan sekali Hanaya. " Tanpa tau nilai sesungguhnya.

"Bunda hari ini aku akan bermain di pinggir sungai. "

"Jangan terlalu pinggir loh, apalagi berenang. Gak boleh. "

"Iya, kita cuma mau cari jangkrik. " Kaki itu berlari cepat saat sudah mendapat izin dari sang Bunda. "Al sini. " Semakin mendekati sekumpulan anak anak lain, "Nih jaring buat kamu. " Menyerahkan jaring kecil yang ia pegang, "Wah, terimakasih. Ayo semuanya!" Anak anak itu berlarian mengejar jangkring yang sudah mulai terlihat banyak si sisi sepanjang sungai.

HAHAHA

Tawa bahagia anak anak itu lepas terdengar tanpa beban dunia yang tidak mereka ketahui dan belum saatnya mereka merasakan beratnya kehidupan tanpa tau salah satu dari mereka sudah merasakan beratnya kehidupan.

AlderanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang