Bab 1: Bayangan di Balik Dinding Sekolah

2 0 0
                                    

Langit Jakarta menggantungkan awan gelap, seolah menggambarkan beban yang Karel Pratama bawa setiap hari. Di sudut belakang lapangan sekolah SMA Bhinneka, dia berdiri sendirian, memandangi sepatu lusuhnya yang penuh debu. Sebuah peluit terdengar dari kejauhan, memecah suasana yang sepi.

Karel menghela napas. Bel pelajaran telah berbunyi, tetapi dia memilih untuk menunda masuk kelas. Ruang kelas bukanlah tempat yang aman baginya; di sana hanya ada ejekan, bisikan kejam, dan tawa yang menyayat hati.

Langkah cepat terdengar dari belakang, membuat Karel refleks menoleh. Tiga sosok yang tak asing berjalan mendekat. Vince Dario, ketua geng sekolah yang sering mengintimidasinya, bersama dua temannya, Raka Andhika dan Edo Hermawan.

“Hei, Karel!” seru Vince sambil menyeringai. “Kok masih di sini? Lagi ngumpet dari siapa, hah?”

Karel menunduk, menggenggam erat tali tasnya. Dia tahu bahwa melawan hanya akan membuat mereka semakin kejam.

“Sepatu lo udah kayak mau copot, bro,” kata Edo, menendang ujung sepatu Karel. “Ngemis aja sana biar bisa beli yang baru!”

Raka tertawa sambil melipat tangan di dada. “Atau jual aja muka lo itu. Lumayan buat beli sikat biar lo nggak bau lagi!”

Karel tetap diam, meskipun dadanya terasa sesak. Hinaan seperti ini sudah menjadi makanan sehari-harinya, tapi tetap saja rasanya seperti luka baru yang terus terbuka.

“Ngomong dong, Karel! Atau lo nggak bisa ngomong, hah?” Vince mendorong bahu Karel hingga dia terhuyung ke dinding belakang sekolah. Gelas plastik bekas dilemparkan ke arah kepala Karel, meninggalkan bercak air kotor di rambutnya.

Di tempat yang tak jauh dari situ, Rey Saputra, sahabat satu-satunya Karel, menyaksikan kejadian itu dari balik tiang sekolah. Rey menggenggam erat gagang pintu, mencoba menenangkan dirinya. Dia ingin maju, tapi rasa takut menghentikannya. Jika dia ikut campur, dia tahu Vince dan gengnya takkan ragu menjadikan dia target berikutnya.

Setelah puas mengejek, geng Vince pergi sambil tertawa. Vince menoleh sekilas dan berkata, “Lo nggak bakal lama di sini, Karel. Orang kayak lo nggak ada gunanya!”

Karel berdiri mematung hingga mereka menghilang dari pandangan. Rey akhirnya memberanikan diri mendekat.

“Lo nggak apa-apa, Karel?” Rey bertanya dengan suara pelan.

Karel mengusap noda di rambutnya, lalu tersenyum kecil. “Nggak apa-apa, Rey. Aku udah terbiasa.”

“Tapi lo nggak harus terus-terusan ngalah sama mereka!” Rey mencoba menyemangatinya, meski dia sendiri tahu sulit untuk melawan Vince dan teman-temannya.

Karel menggeleng. “Percuma. Mereka nggak akan berhenti. Lagipula, aku nggak mau masalah ini sampai ke Abang. Dia udah cukup sibuk.”

Di ruang kelas lain, Rafael Pratama, kakak Karel, sedang sibuk mencatat materi pelajaran fisika. Wajahnya serius, fokus pada lembar-lembar kertas di mejanya. Rafael adalah siswa yang dikenal tegas dan berprestasi. Bagi Karel, Rafael adalah sosok pelindung yang selalu bisa diandalkan. Namun, Karel tak pernah punya keberanian untuk menceritakan penderitaannya.

Ketika bel pulang sekolah berbunyi, Karel berjalan pulang bersama Rey. Mereka melewati lorong yang sunyi, berharap tak bertemu dengan Vince atau gengnya lagi. Di jalan, Rey mencoba menghibur Karel dengan cerita-cerita lucu, tetapi senyum Karel tetap tak muncul.

“Karel,” Rey akhirnya berkata. “Kalau lo nggak cerita ke siapa pun, masalah ini nggak akan selesai.”

“Aku nggak mau bikin orang lain khawatir,” jawab Karel singkat. “Lagipula, siapa yang peduli?”

Namun, di dalam hatinya, Karel tahu bahwa rasa sakit ini semakin sulit dia tahan.

Di rumah, Rafael mendapati adiknya sedang diam di kamar, menatap buku yang terbuka di atas meja. Rafael masuk tanpa mengetuk, duduk di tepi tempat tidur, dan memerhatikan Karel dengan cermat.

“Kenapa, Rel? Ada apa?” tanya Rafael.

Karel menggeleng cepat. “Nggak apa-apa, Bang.”

Rafael mengerutkan kening, merasa ada yang disembunyikan oleh adiknya. Tapi dia memutuskan untuk tidak memaksa. Dia hanya menepuk bahu Karel pelan. “Kalau ada apa-apa, cerita sama Abang, ya.”

Karel tersenyum kecil, meski hatinya menjerit minta tolong.

---

Di Balik Bayangan DendamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang