Bab 4: Jalan yang Terlalu Berat

3 0 0
                                    

Keesokan harinya, Karel merasa cemas saat berjalan ke sekolah. Rasa takut akan apa yang mungkin terjadi di sana menguasai dirinya. Meskipun Rafael sudah berjanji akan melindunginya, Karel merasa dirinya tetap menjadi sasaran empuk bagi Vince dan gengnya.

Begitu Karel melangkah masuk ke gerbang sekolah, ia sudah bisa merasakan tatapan dari teman-teman sekelas yang mencemooh, sebagian besar menghindar, dan sebagian lagi menatapnya dengan pandangan kosong. Ada satu atau dua orang yang memberinya senyum tipis, tetapi itu tidak cukup untuk menenangkan hatinya.

Di kelas, Karel memilih duduk di tempat paling belakang, berharap tidak ada yang mengganggu. Namun, harapan itu sirna begitu saja ketika Vince dan gengnya masuk. Mereka segera menghampiri Karel dengan tatapan penuh amarah.

“Lo pikir lo bisa aman sekarang?” Vince berkata dengan suara rendah, memanfaatkan kerumunan di kelas untuk mendekat.

Karel menundukkan kepalanya, mencoba untuk tidak menanggapi.

Tiba-tiba, tangan Vince terangkat dan menampar meja Karel dengan keras. “Lo pikir gue nggak bisa ngelakuin apa-apa ke lo? Kalau lo terus-terusan diem, gue bakal bikin lo merasakan hidup lo lebih parah dari ini!”

Rasa takut kembali menguasai diri Karel. Seluruh tubuhnya gemetar, dan ia hanya bisa duduk diam, mencoba menahan air mata yang sudah berada di ujung matanya.

Di luar kelas, Rafael yang sedang berjalan menuju kelasnya mendengar suara keras. Itu adalah suara dari kelas Karel. Tanpa pikir panjang, dia langsung berlari ke sana, membuka pintu dengan kasar.

“Vince, lo nggak ada kerjaan lain selain ganggu Karel?” Rafael berseru dengan amarah yang memuncak.

Vince, yang tidak siap dengan kedatangan Rafael, mundur sedikit. “Eh, bro, lo mau apa? Ini urusan gue sama si Karel, bukan urusan lo!”

“Jangan pernah sentuh Karel lagi, atau lo bakal tahu akibatnya!” Rafael berkata dengan suara yang lebih rendah, namun penuh ancaman.

Satu per satu, teman-teman sekelas yang biasanya diam kini mulai memberi dukungan. Beberapa di antaranya mencoba menghentikan Vince, memberi sinyal agar dia berhenti mengganggu Karel. Namun, Vince hanya tersenyum sinis.

“Gue nggak takut sama lo, Rafael. Lo pikir gue takut ngadepin lo?” Vince menantang, meskipun ada sedikit keraguan dalam suaranya.

Namun, sebelum situasi semakin memanas, seorang guru datang dan menginterupsi. “Vince! Rafael! Apa yang terjadi di sini?”

Semua diam sejenak. Tidak ada yang ingin melapor, karena mereka tahu Vince punya pengaruh besar di sekolah itu. Bahkan beberapa dari mereka memilih untuk tidak terlibat.

“Gak ada, Pak,” jawab Vince dengan santai, berusaha menutupi semuanya. “Kami cuma ngobrol. Lagi stres aja.”

Rafael hanya mendengus kesal, tapi dia tahu ini bukan saat yang tepat untuk melawan. Dia menarik Karel keluar dari kelas, melangkah dengan cepat menuju ruang guru.

---

Di ruang guru, Rafael duduk bersama Karel. Wajah Karel tampak lebih muram dari sebelumnya, seolah-olah beban yang ia pikul semakin berat.

“Karel, lo nggak harus nahan semua ini sendiri,” kata Rafael pelan, mencoba menenangkan adiknya. “Lo harus bilang ke orang dewasa. Lo nggak sendirian. Gue di sini buat lo.”

Karel menatap kakaknya, namun matanya kosong. “Aku udah capek, Bang. Rasanya nggak ada jalan keluar. Mereka selalu ada, dan nggak ada yang bisa ngelawan mereka.”

Rafael menarik napas panjang. Dia bisa merasakan betapa tertekan adiknya. Di sisi lain, dia juga merasa frustrasi karena tak bisa melakukan lebih banyak hal untuk melindungi Karel.

“Karel, dengerin gue,” lanjut Rafael dengan tegas. “Kalau lo butuh bantuan, kita lapor ke pihak sekolah. Jangan terus-terusan biarin mereka ngelakuin ini sama lo. Lo berhak untuk nggak merasa takut.”

Namun, Karel hanya menggelengkan kepalanya pelan. “Mereka nggak akan berhenti, Bang. Mereka bisa jadi lebih jahat lagi.”

Rafael menatap adiknya dengan penuh perhatian. Dia tahu Karel merasa terjebak, dan dia berjanji tidak akan membiarkan adiknya terperosok lebih dalam lagi.

---

Sore itu, Rafael menemani Karel pulang dari sekolah. Sepanjang perjalanan, tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut Karel. Sesekali, Karel menatap ke jalanan, namun matanya kosong, seakan-akan dia sedang melamun jauh.

Rafael menggenggam tangan adiknya, mencoba memberinya kenyamanan tanpa kata-kata. Ketika mereka sampai di rumah, Rafael langsung menarik Karel masuk dan mengunci pintu rumah.

“Lo jangan khawatir, Karel,” kata Rafael, menatap adiknya dengan tegas. “Gue nggak akan biarin lo sendirian lagi.”

Namun, dalam hati Karel, dia masih merasa kosong. Seolah-olah dunia terus menghimpitnya dan tidak ada jalan untuk lari. Dan saat itu, rasa sakit di hatinya terasa begitu dalam, seolah-olah tidak ada harapan lagi.

---

Di Balik Bayangan DendamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang