Bab 13: Titik Balik yang Kelam

1 0 0
                                    

Hidup Rafael berubah menjadi lebih berantakan sejak kematian Karel.
Luka di hatinya tidak bisa sembuh, bahkan semakin parah ketika ia
memikirkan pelaku-pelaku yang masih bebas berkeliaran.

Setiap hari ia terbayang wajah adiknya yang memohon pertolongan.Dalam diam, dendamnya tumbuh menjadi obsesi.

Siang itu, Rafael kembali membaca buku harian Karel di kamar. Ia
menemukan sebuah catatan yang mengungkap tempat lain di mana
Karel sering mendapatkan perlakuan buruk: sebuah gang sempit di
dekat warung kecil di jalan utama.
Tempat itu ternyata sering menjadi lokasi Davin dan teman-temannya
memojokkan Karel.

Tanpa ragu, Rafael memutuskan untuk pergi ke sana. Dengan tangan
mengepal, ia menyusuri jalan yang dipenuhi bayangan gedung tua.
Ketika sampai di gang tersebut, ia menemukan beberapa coretan
dinding berisi hinaan terhadap Karel.

"Karel si pecundang."
"Gak pantas hidup."
"Karel yang bodoh , sama kayak anjing."

Coretan itu menjadi pemantik amarah Rafael. Ia menggedor-gedor
tembok hingga tangannya memar, berteriak di tengah sepi, "Kenapa kalian sekejam ini?! Apa salah Karel?!"

Seakan dunia mendengarnya, langkah-langkah mendekat dari arah
gang. Rafael menoleh dan melihat Davin bersama gengnya. Mereka
terlihat terkejut melihat Rafael berada di sana, tapi segera
menyeringai.

"Penyelamat si pecundang datang lagi, nih," ejek Davin. "Ngapain lo di
sini, ha? Mau gantiin posisi pecundang lo?"

"Lo pikir ini lucu?!" Rafael menghampiri mereka dengan cepat. "Lo pikir hinaan kalian gak bikin hidup orang lain jadi neraka?!"

Davin hanya tertawa, diikuti teman-temannya. Salah satu dari mereka,
Bima, menyahut, "Halah, lebay banget. Kalau gak kuat mental,
mending gak usah hidup sekalian.
Toh, si pencundang lo udah buktiin itu, kan?"

Rafael tak bisa menahan diri lagi. Dengan satu ayunan, tinjunya
menghantam rahang Bima, membuatnya terjatuh ke tanah.
"Anjing lo! Beraninya ngomong kayak gitu!" teriak Rafael.

Davin segera melangkah maju, mendorong Rafael hingga
punggungnya membentur dinding gang. "Lo mau main kasar, hah?
Brengsek lo! Si culun lo cemen, dan lo sama aja!"

"Diam!" Rafael berteriak sambil menendang lutut Davin. Perkelahian
itu berubah menjadi kekacauan, dengan Rafael melawan tiga
orangsekaligus.

Pukulan dan tendangan bertubi-tubi diterimanya, namun ia tetap
berdiri, membalas semampunya.

"Lo pikir lo jago?! Bangsat lo!" Davin melayangkan pukulan ke perut
Rafael, membuatnya terhuyung mundur. Namun, dengan sisa tenaga,

Rafael memegang kerah baju Davin dan membenturkan kepalanya ke
tembok.

Suara benda jatuh dan teriakan terdengar memenuhi gang sempit itu.

Luka-luka di tubuh Rafael semakin banyak, tapi ia tidak peduli.

Dendamnya memandu setiap gerakannya.

Sementara itu, Rey yang diam-diam mengikuti Rafael, akhirnya
muncul untuk melerai.

Ia berteriak, "Rafa, stop! Lo mau
mati?!

Ini bukan caranya!"

Rafael menatap Rey dengan napas memburu, wajahnya dipenuhi
darah dan keringat. "Lo gak ngerti, Rey.

Mereka ini yang bikin Karel
gak ada lagi! Mereka pantas dihancurin!"

Rey menarik Rafael menjauh, memeluknya erat meskipun Rafael
meronta. "Gue tahu lo sakit, Rafa. Gue juga kehilangan Karel. Tapi lo
gak bisa begini.

Lo mau adik lo bangga atau lo mau dia sedih lihat lo
jadi monster kayak gini?!"

Perlahan, Rafael berhenti melawan. Ia menangis dalam pelukan Rey,untuk pertama kalinya membiarkan emosinya keluar. Sementara itu,
Davin dan teman-temannya kabur dengan penuh ketakutan.

Namun, di balik semua itu, Rafael tahu ini belum selesai. Dendamnya
belum terpuaskan, dan keadilan untuk Karel masih jauh dari
jangkauan.

Rafael yang kembali ke rumah,
duduk didepan foto Karel dengan tangan bergetar. Ia berkata lirih,

"Aku gak akan berhenti, Rel. Aku janji, semua orang yang bikin kamu menderita
akan hancur."

Di Balik Bayangan DendamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang