Langit malam dipenuhi awan kelabu, suara hujan deras mengguyur bumi, menggema bersama gemuruh petir yang menyambar. Davin terdesak ke sudut ruangan, tubuhnya gemetar, dan napasnya tersengal-sengal. Di depannya berdiri Rafael, dengan mata penuh kebencian, tangan memegang pisau yang berkilauan di bawah lampu remang-remang.
"Lo nggak bakal ngerti, Davin. Lo pikir ini cuma main-main," Rafael berkata dingin, ujung pisaunya diarahkan ke dada Davin. "Tapi lo ngebunuh Karel. Lo semua ngebunuh dia!"
"Rafael, gue minta maaf! Gue... gue nggak mau dia mati, sumpah!" Davin meratap, air matanya bercampur dengan keringat yang mengalir di wajahnya.
"Maaf? Sekarang lo nangis?" Rafael tertawa pelan, suaranya serak dan menggema di ruangan. "Kenapa nggak waktu Karel nangis tiap hari? Lo pikir kata 'maaf' bisa ngapus semua?"
Davin mundur perlahan, tubuhnya bergesekan dengan dinding dingin di belakangnya. Hujan semakin deras di luar, gemuruh guntur menggetarkan jendela.
"Rafael... tolong... gue salah... gue nggak mau mati..." Davin memohon dengan suara tercekat.
Rafael hanya tersenyum kecil. Dengan langkah perlahan, ia mendekati Davin, pisaunya berkilau tajam.
Ketegangan Memuncak
Davin berusaha mencari celah untuk melarikan diri. Dengan nekat, ia meraih lampu meja di sebelahnya dan melemparkannya ke Rafael.
"Brak!"
Lampu itu menghantam lengan Rafael, membuat pisau itu jatuh ke lantai. Davin memanfaatkan momen itu untuk melarikan diri ke pintu. Namun, sebelum dia berhasil membuka pintu, Rafael menerjangnya dari belakang, menjatuhkannya ke lantai.
"Lo pikir bisa kabur?! NGGAK ADA YANG BISA LARI DARI GUE!" Rafael berteriak dengan suara yang penuh kemarahan.
Dia membalikkan tubuh Davin dengan kasar, menindihnya, dan meraih pisau yang tergeletak tak jauh dari mereka.
"Lo bakal ngerasain apa yang Karel rasain, Davin. Lo bakal tahu gimana rasanya dihakimi, dipermalukan, dan... MATI!"
"JANGAN! TOLONG! TOLONG!" Davin menjerit histeris, suaranya menggema di ruangan.
Kematian yang Brutal
Rafael mengangkat pisaunya tinggi-tinggi. Di bawah cahaya lampu, mata pisau itu bersinar dingin, seperti kematian itu sendiri yang menunggu di ujungnya.
"Sreeeek!" Suara gesekan logam dengan udara membuat bulu kuduk Davin meremang.
"Rafael! NGGAK, TOLONG!!!"
Dengan kekuatan penuh, Rafael menghujamkan pisau itu ke perut Davin.
"Crack!"
Suara daging yang tertembus logam menggema di ruangan, diikuti jeritan Davin yang melengking.
"AAAAARGHHHH!!!" Davin menggeliat kesakitan, darah segar memancar dari luka di perutnya. Tangannya gemetar mencoba menghentikan aliran darah, tapi sia-sia.
Rafael mencabut pisaunya dengan kasar, suara "plok" membuat Davin menjerit lagi.
"Ini buat Karel!" Rafael menghujamkan pisau itu ke dada Davin, menusuk lebih dalam hingga terdengar suara tulang yang retak.
"Krak... sreeeek!"
"AAAAAARRRRGHH!!!" Davin terus menjerit, suaranya memelan seiring darah yang membanjiri mulutnya.
Rafael menarik pisaunya lagi, darah kental bercipratan di lantai dan wajahnya. Ia menatap Davin yang kini terbatuk-batuk, darah mengalir dari bibirnya.
"Lo belum selesai, Davin," Rafael berbisik dingin.
Dia menusukkan pisaunya lagi, kali ini ke sisi perut, membuat isi perut Davin hampir keluar.
Davin menggeliat untuk terakhir kalinya, suaranya hanya tinggal rintihan kecil. "T...tolong..."
"Udah nggak ada yang bisa nolong lo," Rafael menjawab dengan nada rendah sebelum menusukkan pisau itu ke leher Davin, menghentikan semua perlawanan.
Kematian yang Sepi
Tubuh Davin terkulai di lantai, darah menggenangi ruangan. Matanya terbuka, kosong, menatap ke arah Rafael yang kini berdiri di atasnya.
Rafael menghapus darah dari wajahnya, lalu menatap tubuh Davin yang tak lagi bernyawa.
"Hanya tinggal dua lagi," Rafael berkata pelan sambil menyimpan pisaunya kembali.
Suara hujan di luar menjadi latar bagi kehampaan yang ia rasakan. Membalas dendam tidak memberikan kepuasan seperti yang ia bayangkan. Tapi ia tahu, misinya belum selesai.
..........
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Balik Bayangan Dendam
Mystery / ThrillerKarel Pratama adalah seorang siswa SMA yang hidup di bawah bayang-bayang rasa takut dan penghinaan. Setiap hari, ia menjadi sasaran bullying dari sekelompok siswa yang tak kenal belas kasihan. Meski memiliki sahabat setia, Rey, yang selalu mendukung...