Bab 35: Jerat yang Mengendur

0 0 0
                                    

Suara rintik hujan menggema di dalam ruangan kecil tempat Rafael terikat. Cahaya lampu kuning temaram memantulkan bayangan wajahnya yang berlumur keringat dan darah kering. Mata Rafael yang sebelumnya tertutup perlahan terbuka, menyesuaikan diri dengan cahaya.

Victor berdiri di depannya, tangan terlipat di dada, wajahnya datar namun sorot matanya penuh ketegangan. Di belakang Victor, Davin, Bima, dan Raka berdiri dengan ekspresi beragam- campuran ketakutan, kebencian, dan rasa lega.

"Lo pikir ini selesai?" Rafael berbicara dengan suara serak, bibirnya menyeringai lemah. "Lo kira bisa ngalahin gue begitu aja?"

Victor mendekat, menatap Rafael dari atas. "Lo nggak ngerti, Rafael. Ini udah selesai. Lo kalah."

Rafael tertawa kecil, meskipun tubuhnya jelas lelah. "Gue nggak kalah. Gue cuma nunggu waktu."

Di Luar Ruangan

Raka duduk di luar, menjauh dari suasana tegang di dalam ruangan. Hujan yang mulai deras membasahi bahunya, tapi ia tak peduli. Pikiran tentang Edo dan Vince terus menghantui.

Bima mendekatinya, membawa dua cangkir kopi panas yang mengepul. "Lo oke, Kak?"

Raka mengangguk pelan, mengambil cangkir itu tanpa menoleh. "Gue cuma mikir, Bim... Apa yang kita lakuin ini bakal ada akhirnya? Atau kita cuma muter-muter di lingkaran setan?"

Bima menghela napas panjang. "Gue juga nggak tau, Kak. Tapi kalau kita nggak ngelakuin apa-apa, gue yakin Rafael bakal menang. Dia udah bunuh dua temen kita. Lo mau itu terus berlanjut?"

Raka menggigit bibirnya, menahan air mata yang hampir jatuh. la mengangguk kecil. "Lo bener, Bim. Kita nggak boleh kalah."

Di Dalam Ruangan

Victor melangkah keluar, meninggalkan ketiga anak itu sendirian dengan Rafael. Davin, yang selama ini paling tenang, mulai kehilangan kesabarannya. la maju mendekat, menatap Rafael dengan tajam.

"Kenapa lo ngelakuin ini semua?" tanyanya, suaranya rendah tapi tegas.

Rafael hanya tertawa kecil. "Lo nggak ngerti, ya? Ini semua soal Karel. Lo pikir kalian bisa ngelupain dia begitu aja? Dia mati karena kalian!"

"Karel mati karena kecelakaan, dan lo tau itu!" Davin membalas, suaranya mulai naik.

"Kalau kalian nggak nyuruh dia pergi malam itu, dia nggak bakal mati!" Rafael berteriak, suaranya pecah oleh emosi.

Hening menguasai ruangan. Davin terdiam, kata-kata Rafael menusuk seperti pisau. Kenangan tentang malam itu kembali menyeruak, menghantui pikirannya.

"Kami nggak pernah berniat dia mati..." Davin akhirnya berkata, hampir berbisik. "Itu semua kesalahan. Kami semua kehilangan dia."

"Tapi lo nggak kehilangan apa-apa, Davin," Rafael menyela, matanya menyala penuh kebencian. "Lo masih punya temen, masih punya hidup. Gue? Gue kehilangan segalanya."

Malam Menyebar

Victor kembali ke dalam dengan wajah cemas. "Kita harus segera memutuskan. Gue nggak yakin kita bisa tahanin dia di sini lama-lama."

Bima menatap Victor dengan ragu. "Apa nggak lebih baik kita bawa dia ke polisi?"

Victor menggeleng cepat. "Polisi nggak akan bisa apa-apa. Rafael terlalu licik. Dia bakal kabur lagi dan ngeburu kalian semua."

"Kita harus ngelakuin sesuatu," ujar Raka, menggenggam cangkir kopinya erat. "Kalau nggak, semua ini nggak akan pernah selesai."

Sebuah Pilihan Berat

Di tengah malam yang kelam, mereka semua berkumpul di ruangan itu, berdiskusi dengan suara pelan tapi tegang. Rafael tetap terikat, tapi ia terus memandang mereka dengan seringai penuh kemenangan.

"Ayo, putusin gue sekarang," Rafael mengejek. "Atau lo semua terlalu

pengecut buat ngelakuin itu?" Victor berdiri, menatap Rafael

dengan dingin. "Kalau lo berharap gue bunuh lo, lo salah besar."

"Tapi kita nggak bisa ngebebasin dia," kata Davin dengan nada serius. "Kalau dia lepas, kita semua selesai."

Hening panjang menyelimuti ruangan. Mereka semua tahu apa yang harus dilakukan, tapi tak ada yang berani mengatakannya.

Akhirnya, Victor bicara. "Kita punya satu cara terakhir. Tapi gue nggak yakin kalian siap buat itu."

"Apa pun itu, kita harus lakuin," jawab Davin tegas. "Kita nggak punya pilihan lain."

Victor mengangguk pelan. "Baiklah. Besok pagi, kita akhiri ini."

........

Di Balik Bayangan DendamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang