Bab 24 - Teror yang Kian Dekat

1 0 0
                                    

Malam semakin larut, namun perasaan cemas di hati Edo belum juga mereda. Ketika ia terbangun di rumah sakit beberapa jam setelah kejadian itu, tubuhnya terasa lemas dan pikiran mulai berputar-putar tentang apa yang sebenarnya terjadi. Ia teringat kejadian di taman, suara tertawa yang membuat bulu kuduknya berdiri, dan perasaan terancam yang begitu nyata. Saat itu, ia tidak tahu harus berbuat apa selain berlari dan berharap semuanya hanya ilusi. Tetapi kenyataannya, ia baru menyadari bahwa dirinya tak bisa lagi mengabaikan ancaman yang datang.

Pagi itu, Edo akhirnya bisa pulih sedikit, namun rasa takut yang menguasai dirinya tidak bisa begitu saja dihilangkan. Ia mengingat pesan yang ditinggalkan oleh pelaku: “Lo pikir lo bisa lari?” Kata-kata itu terus mengganggu pikirannya, seakan terus terngiang-ngiang dalam telinganya.

Di sisi lain, Davin, Raka, dan Bima masih bingung mencari tahu siapa yang bertanggung jawab atas semua teror yang mereka alami. Meskipun sudah ada dugaan bahwa ini terkait dengan Karel, mereka mulai meragukan asumsi tersebut. Karel memang memiliki musuh, tetapi apakah ini cukup untuk menjelaskan semua teror yang datang begitu tiba-tiba? Siapa pun yang melakukannya jelas lebih dari sekadar pembalasan dendam; mereka punya rencana yang lebih besar.

“Kita harus segera bertindak,” ujar Davin dengan suara serak, matanya tampak lelah karena semalaman tak bisa tidur. “Semakin lama kita diam, semakin banyak yang akan menderita.”

Raka yang selama ini lebih tenang dan rasional mencoba untuk memberikan sudut pandang lain. “Tapi siapa yang akan kita hadapi? Kita nggak tahu siapa musuh kita. Kita cuma punya dugaan. Kalau kita salah langkah, semuanya bisa berbalik jadi bencana.”

Bima yang sejak awal merasa ada yang aneh akhirnya berbicara, “Gue rasa, pelaku ini nggak cuma pengen balas dendam sama kita. Dia tahu tentang Karel, tapi ada yang lebih personal di balik ini. Mungkin kita harus fokus pada satu orang dulu: Edo.”

Mendengar itu, Davin menatap Bima dengan serius. “Kamu merasa Edo tahu siapa yang di balik semua ini?”

Bima mengangguk. “Gue nggak tahu pasti. Tapi dia pasti merasakannya. Edo... dia selalu punya firasat yang kuat. Kalau kita nggak cepat menemukan pelakunya, kita semua bisa jadi target berikutnya.”

Ketiganya terdiam sejenak, merasa bahwa situasi yang semakin mencekam ini membutuhkan keputusan yang cepat. Mereka tahu bahwa pelaku ini tidak hanya bermain dengan ketakutan, tetapi juga dengan permainan psikologis yang semakin dalam.

Sementara itu, di tempat yang lebih jauh, Rafael mengamati mereka dari jauh, tepat di belakang gedung yang berdiri di ujung taman. Senyumnya semakin lebar ketika melihat reaksi mereka yang semakin panik. Ia tahu bahwa pergerakannya semakin dekat, dan tak lama lagi, semua orang yang telah ia targetkan akan terjebak dalam jaring yang telah ia siapkan dengan teliti.

Di tangannya, sebuah pisau kecil berkilau, dan ia meremasnya kuat-kuat. "Semakin mereka mencari, semakin dekat mereka dengan akhir permainan ini," gumamnya.

Ia menatap foto Karel yang mulai memudar, yang masih menjadi motivasi di balik tindakannya. "Semua ini demi Karel," pikirnya. "Dan tak ada yang bisa menghentikan apa yang sudah dimulai."

Rafael kemudian berjalan menuju taman, melangkah tenang dengan setiap langkah yang penuh perhitungan. Ia tahu, tak lama lagi, Edo akan menjadi korban berikutnya. Namun kali ini, ia tak akan membiarkan dirinya diketahui. Ia akan memastikan bahwa semua yang terjadi akan tetap menjadi misteri, sampai saat yang tepat untuk mengungkapkan identitasnya.

Saat ia sampai di tempat yang sama di mana Edo pingsan kemarin, Rafael berhenti sejenak. Ia menarik napas panjang dan membenamkan pisau kecil itu di sakunya. "Ini baru permulaan," ia berbisik dengan senyum mengerikan, merasa puas dengan rencananya yang matang.

Di Rumah Davin

Davin, Raka, dan Bima sedang berkumpul di ruang tamu, merenungkan langkah selanjutnya. Ketiganya merasa semakin terperangkap dalam perasaan tak berdaya, seperti berada dalam lingkaran setan yang terus berputar tanpa henti.

Tiba-tiba, ponsel Raka berbunyi. Ia segera memeriksa layar dan mendapati pesan singkat yang dikirimkan oleh seseorang. “Edo di rumah sakit. Ada yang mengancamnya.”

Davin yang duduk di kursi yang berlawanan langsung berdiri, wajahnya tegang. “Kenapa kita nggak bisa merasa aman? Semua ini seperti mimpi buruk yang nggak berujung.”

“Mungkin ini bukan kebetulan,” Raka berkata perlahan, matanya penuh tanda tanya. “Kita harus segera temui Edo dan cari tahu apa yang dia tahu.”

Bima mengangguk setuju, namun wajahnya dipenuhi kecemasan. "Tapi kita juga harus berhati-hati. Kita nggak tahu siapa yang kita hadapi, atau bagaimana mereka akan bergerak selanjutnya."

Ketiganya memutuskan untuk segera pergi ke rumah sakit, berharap bisa menemukan petunjuk dari Edo yang mungkin masih bisa memberikan jawaban. Namun, semakin mereka mencoba mendekati kebenaran, semakin dalam mereka terperangkap dalam permainan maut yang direncanakan dengan sangat cermat oleh Rafael.

Di Rumah Sakit

Edo terbaring lemah di ruang rumah sakit, matanya terbuka, namun kosong. Ia masih belum sepenuhnya sadar, hanya bisa merasakan sakit yang menyeluruh di tubuhnya. Ketika Davin, Bima, dan Raka datang, mereka mendekat dengan hati-hati, tidak ingin mengganggu istirahat Edo yang tampak kelelahan.

“Edo, ini kami,” ujar Davin pelan, memegang tangan Edo dengan lembut.

Edo perlahan membuka matanya, mengerjap beberapa kali. Wajahnya pucat, dan ia tampak kebingungan. "Apa yang terjadi?" tanyanya dengan suara parau. "Kenapa... Gw di sini?"

Davin menatapnya dengan cemas. “Kita yang seharusnya bertanya, Edo. Apa yang terjadi di taman? Lo lihat siapa yang melakukannya?”

Edo terdiam sejenak, pikirannya berusaha mengingat kejadian malam itu. “gw... Gw dengar suara tertawa. Rasanya sangat dekat, tapi... Gw nggak tahu siapa dia. Ada suara bisikan yang bilang, ‘Lo pikir lo bisa lari?’”

Pernyataan itu membuat ketiga temannya saling memandang, menyadari bahwa ini bukanlah teror biasa. “Kita nggak tahu siapa yang melakukannya,” ujar Bima dengan suara berat. “Tapi kita harus tetap waspada. Seseorang sedang memantau kita.”

Raka mengangguk, menyimpulkan apa yang belum sempat mereka bicarakan. “Ini bukan kebetulan. Kita harus berhati-hati, atau kita akan jadi target selanjutnya.”

Malam itu, udara terasa semakin dingin, dan perasaan teror semakin menguat. Mereka tahu bahwa permainan ini belum berakhir, dan semuanya hanya akan semakin buruk jika mereka tidak segera bertindak.

---

Di Balik Bayangan DendamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang