Bab 12: Jejak Luka yang Tertinggal

1 0 0
                                    

Pagi itu, Rafael kembali ke kamar Karel untuk yang kesekian kalinya.
Ia duduk di tepi ranjang, memandang barang-barang adiknya yang
tersusun rapi.

Buku catatan, foto keluarga, dan jaket kesayangan Karel semuanya
masih berada di tempatnya, seolah menunggu pemiliknya kembali.
Tapi Rafael tahu, tidak ada yang akan kembali.

Setelah sekian lama diam, Rafael menemukan buku harian Karel yang
tergeletak di meja. Tangannya gemetar saat membuka halaman
pertama. Tulisan Karel yang rapi memenuhi halaman-halaman itu,
mencatat semua hal yang ia alami-kesenangan kecil, kesedihan,
hingga penderitaan yang selama ini ia sembunyikan.

"Aku ingin berhenti... tapi mereka tidak berhenti..."

Kalimat itu tertulis dengan tinta yang sepertinya pernah terkena air,
mungkin air mata Karel. Rafael merasakan amarahnya kembali
menyala.

Di tengah membaca buku itu, Rafael menemukan nama-nama yang
disebut Karel. Nama orang-orang yang telah menghancurkan hidup
adiknya. Mereka bukan hanya teman sekolah, tapi juga orang-orang
di luar sekolah yang sering mengejek atau bahkan memukul Karel di
luar jam pelajaran.

"Aku lelah, Kak. Aku benar-benar ingin mereka berhenti..."
Kata-kata terakhir di salah satu halaman itu terasa seperti jeritan
Karel yang meminta tolong. Rafael menggenggam buku itu dengan
erat, lalu bangkit dengan tekad baru.

Siang itu, Rafael menuju salah satu tempat yang sering disebutkan
dalam catatan Karel-sebuah lapangan basket dekat sekolah. Di sana,
ia menemukan sekelompok siswa yang sedang bercanda dengan
suara keras. Rafael mengenali salah satu dari mereka, Davin,
pemimpin kelompok yang sering membuli Karel.

Tanpa basa-basi, Rafael berjalan mendekati mereka. Matanya tajam,
langkahnya penuh amarah.

"Hei, Davin!" teriak Rafael dengan suara berat. Semua mata langsung
tertuju padanya.

Davin menoleh dengan tatapan bingung, lalu menyeringai. "Oh, ini
Orang yang selalu membela Karel, ya? Ada apa? Mau balas dendam, ya?" ejeknya.

Rafael langsung menarik kerah baju Davin, membuat siswa lain
mundur ketakutan. "Lo pikir gw nggak tahu apa yang lo
lakukan ke Karel?!" teriak Rafael.

Davin tertawa, tapi suaranya terdengar gemetar. "Apa, sih? Dia
sendiri yang lemah! Salah dia kenapa nggak bisa bertahan! Cengeng
banget si banci!"

Mendengar ejekan itu, Rafael kehilangan kendali. "Anjing lo!
Beraninya ngomong kayak gitu tentang adik gue!" Rafael
melayangkan pukulan ke wajah Davin dengan keras. Suara pukulan
itu terdengar jelas di sekitar lapangan.

"Aduh, bangsat!" Davin memaki sambil memegang pipinya yang
memerah. "Lo gila, ya?! Mau main fisik?! Brengsek lo, bangsat!"

"Lo pikir gue peduli?! Lo pikir ini semua selesai cuma dengan lo
bilang dia lemah?!" Rafael menarik Davin dari tanah, siap
melayangkan pukulan lagi.

Namun, salah satu teman Davin, bima, mencoba melawan. "Sialan
lo! Nggak usah sok jago di sini!" Bima menendang Rafael dari
samping, membuat Rafael terhuyung.

Rafael memutar tubuhnya, matanya tajam menatap Bima. "Lo juga
bagian dari mereka, kan?! Lo sama aja, brengsek!" Rafael memukul
Bima dengan keras di perut, membuatnya jatuh sambil
terbatuk-batuk.

"Kalian semua anjing pengecut!" teriak Rafael, suaranya menggema.

Rey, yang kebetulan ada di sana, segera berlari ke tengah keributan.
"Rafa, stop! Lo mau jadi apa kalau terus kayak gini?!"

Rafael menatap Rey dengan napas memburu. "Rey, mereka pantas
menerima ini! Karena mereka, Karel... Karel nggak ada lagi!"

Rey menarik napas panjang, mencoba menenangkan Rafael. "Gue
tahu lo marah, tapi ini bukan cara yang benar. Lo mau dihukum
gara-gara ini? Kita harus cari bukti dulu, baru laporin mereka!"

Rafael menatap Davin yang masih tergeletak di tanah dengan darah
mengalir dari sudut bibirnya. Ia tahu Rey mungkin benar, tapi dendam
yang membara di hatinya terlalu sulit untuk diredam.

Malam itu, Rafael kembali ke rumah dengan tangan yang masih
bergetar. Ia merasa hampa, tapi juga semakin yakin bahwa ia tidak
bisa berhenti sampai semua orang yang menyakiti Karel merasakan
hal yang sama.

Rafael yang memandang foto Karel di meja kamarnya, dengan mata penuh tekad. "Aku janji, rel. Mereka semua
akan membayar."

Di Balik Bayangan DendamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang