Bab 38: Jejak yang Mulai Terungkap

0 0 0
                                    


Pagi itu, di apartemen tua, keempat buronan-Davin, Bima, Raka, dan Victor-bangun dengan kelelahan yang masih menggelayut di wajah mereka. Semalaman mereka tidur dalam gelisah, selalu waspada kalau-kalau polisi atau Rafael muncul. Namun pagi yang cerah memberikan mereka sedikit waktu untuk bernapas.

"Kita mulai dari mana?" tanya Raka, menguap lebar sambil merenggangkan tubuh.

Davin membuka peta kota yang mereka dapatkan dari temannya Victor. "Kita harus cari tahu lebih banyak soal Karel. Gue yakin, ada sesuatu yang disembunyikan Rafael tentang kematian Karel. Kalau kita bisa nemuin itu, kita bisa ngebalikkan keadaan."

"Lo pikir Rafael ninggalin jejak?" tanya Bima skeptis. "Dia jelas bukan orang bodoh. Dia pasti udah nutupin semuanya."

Victor menyalakan laptop kecil yang ia bawa. "Setiap orang pasti ninggalin jejak. Gue bakal cari informasi soal Rafael, Karel, dan siapa pun yang terlibat di masa lalu mereka. Kalau ada yang aneh, gue pasti nemuin."

Mereka pun mulai bekerja, masing-masing memegang tugasnya. Victor sibuk mencari informasi di internet, sementara Davin, Bima, dan Raka menyusun rencana untuk menyelidiki lebih jauh.

Sementara Itu, Rafael

Di tempat persembunyiannya, Rafael sedang mempelajari foto-foto lama Karel dan teman-temannya. la mengingat setiap detail dalam hidup adiknya, terutama masa-masa ketika mereka mulai menjauh satu sama lain.

Rafael tertawa kecil saat menemukan sebuah catatan di buku harian Karel. "Lo benar-benar nggak pernah ngerti, Davin. Karel lebih takut sama lo daripada sama gue."

la melipat catatan itu dengan hati-hati dan memasukkannya ke dalam amplop. "Saatnya bikin mereka saling curiga," gumamnya sambil tersenyum dingin.

Rafael kemudian mengirimkan amplop itu ke sebuah alamat dengan bantuan kurir anonim. Amplop itu ditujukan untuk Davin, tapi ia tahu bahwa isinya akan memicu konflik di antara keempat buronan itu.

Kecurigaan yang Mulai Muncul

Ketika amplop itu tiba di apartemen, Davin membukanya tanpa ragu. Di dalamnya terdapat salinan halaman buku harian Karel, dengan beberapa kalimat yang sengaja diberi garis bawah:

"Gue nggak tahu harus gimana lagi. Mereka semua nggak peduli sama gue. Tapi yang paling nyakitin, Davin mulai berubah. Dia udah nggak kayak abang yang dulu gue kenal."

Davin membaca kalimat itu dengan kening berkerut. la mencoba mengabaikan rasa bersalah yang mulai muncul, tapi Bima dan Raka juga membacanya.

"Apa maksudnya ini?" tanya Raka dengan nada curiga. "Davin, lo ada masalah sama Karel?"

"Enggak!" bantah Davin cepat. "Gue nggak pernah ada masalah sama dia."

"Tapi ini tulisan tangan Karel," sela Bima. "Lo yakin nggak pernah ada sesuatu di antara kalian?"

Victor yang sejak tadi memperhatikan langsung angkat bicara. "Denger, ini jelas salah satu trik Rafael. Dia mau kita saling curiga. Jangan termakan sama omong kosong ini."

Namun bibit kecurigaan sudah tertanam. Meski mereka mencoba mengabaikannya, suasana di antara mereka mulai berubah.

Langkah Berikutnya

Malam itu, mereka memutuskan untuk pergi ke rumah lama Karel. Mereka berharap menemukan sesuatu yang bisa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Rumah itu sudah lama kosong sejak kematian Karel, tapi mereka tahu bahwa mungkin masih ada petunjuk di sana.

Perjalanan ke rumah itu dipenuhi kecemasan. Mereka tahu bahwa Rafael mungkin sudah memperhitungkan langkah ini. Namun, mereka tidak punya pilihan lain.

Ketika mereka sampai di sana, suasana rumah terasa menyeramkan. Jendela-jendela tertutup debu, dan pintu depan berderit ketika mereka membukanya.

"Baunya kayak kematian," gumam Bima, menutup hidungnya.

Mereka mulai menyusuri rumah itu, mencari apa saja yang bisa membantu mereka. Namun yang mereka temukan justru membuat bulu kuduk mereka meremang. Di ruang tamu, ada foto-foto mereka berempat yang dipajang di dinding, dengan tulisan merah besar di atasnya: "Selamat datang di akhir permainan."

.........

NOTES:

BUKU HARIAN KAREL : "Gue nggak tahu lagi harus gimana. Davin yang dulu gue anggap teman ternyata nggak beda jauh sama yang lain. Dia ngebully gue, ikut ngejatuhin gue. Gue nggak ngerti kenapa dia berubah kayak gini."

Di Balik Bayangan DendamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang