Bab 31: Bayangan di Antara Mereka

0 0 0
                                    


Hujan masih mengguyur kota dengan ritme yang monoton. Di sebuah kamar kecil yang tersembunyi dari keramaian, Davin, Bima, dan Raka duduk saling berhadapan. Ketiganya kini terlihat seperti bayangan dari diri mereka yang dulu-tertekan, ketakutan, dan tidak lagi percaya satu sama lain.

"Kita harus kabur. Ini nggak aman lagi," ucap Bima, suaranya bergetar. la terus-menerus menatap pintu, seolah-olah bayangan Rafael akan muncul kapan saja.

"Dan lo pikir dia nggak akan nemuin kita?" Davin membalas dengan nada tajam. la memukul meja di hadapannya. "Edo udah mati, Bim! Kalau dia bisa bunuh Edo, dia juga bisa nemuin kita di mana pun!"

"Tapi kita nggak bisa cuma duduk di sini!" seru Raka, matanya liar memandang kedua temannya. "Lo liat apa yang dia lakuin sama Edo?! Itu bukan sekadar bunuh-itu penyiksaan, Davin!"

Kamar itu hening untuk beberapa saat. Tak ada yang berani bicara lebih lanjut, tapi ketiganya tahu betul bahwa mereka sedang berada di bawah bayangan maut yang semakin mendekat.

Sementara itu

Di sisi lain kota, Rafael berjalan di antara deretan toko yang sudah tutup. Jaket hitamnya menyatu dengan gelapnya malam, dan senyum kecil menghiasi wajahnya. la menikmati bagaimana ketiga target terakhirnya kini saling mencurigai dan terjebak dalam ketakutan.

Rafael berhenti di depan sebuah toko kosong dan menatap pantulan dirinya di jendela yang buram. Di tangannya, ia memegang sebuah amplop berisi pesan ancaman.

"Biar mereka merasakan dulu," gumamnya pelan. "Semakin lama mereka ketakutan, semakin manis akhirnya."

la melangkah masuk ke toko kosong itu, menyiapkan teror berikutnya.

Kembali ke Davin, Bima, dan Raka

"Gue bilang kita lapor polisi," ucap Raka akhirnya, memecah keheningan.

"Dan bilang apa? Kalau kita dikejar seseorang yang punya alasan buat bunuh kita? Lo pikir polisi bakal percaya?" Davin membalas, sinis.

"Tapi kalau kita diem aja, kita bakal mati satu per satu!" Raka berkeras.

"Apa kita..." Bima tiba-tiba bicara, tapi suaranya nyaris tak terdengar. "Apa kita minta maaf aja? Ke dia?"

Ketegangan langsung memenuhi ruangan.

"Minta maaf?" Davin tertawa pendek, terdengar lebih seperti ejekan. "Lo pikir itu bakal bikin dia berhenti? Lo liat apa yang dia lakuin sama Edo! Dia nggak cari maaf, Bim. Dia cari pembalasan."

Raka menghela napas berat. "Kita harus cari tahu dia di mana. Kalau kita tahu lokasinya, mungkin kita bisa nyerang dia duluan."

Davin menggeleng. "Itu terlalu berisiko. Dia tahu kita ketakutan. Kita harus pintar."

Bima hanya diam, tetapi tangannya gemetar. la tahu bahwa waktu mereka semakin sedikit.

Teror Baru Dimulai

Malam itu, ketiganya kembali ke rumah masing-masing. Tapi Rafael tidak membiarkan mereka merasa aman terlalu lama.

Pukul dua dini hari, telepon rumah Davin berbunyi. Dengan setengah mengantuk, ia mengangkatnya.

"Halo?"

Tak ada jawaban. Hanya suara napas berat di ujung sana.

"Halo?! Siapa ini?!" Davin berteriak, mencoba mengusir rasa takutnya.

Akhirnya, sebuah suara berbisik pelan, "Lo yang berikutnya."

Telepon langsung terputus. Davin menjatuhkan gagang telepon, tubuhnya gemetar hebat. la tahu itu Rafael.

Di tempat lain, Bima terbangun oleh bunyi ketukan di jendela kamarnya. Saat ia membuka tirai, ia hanya menemukan sebuah pesan tertulis dengan darah di kaca:

"TIDAK ADA TEMPAT UNTUK SEMBUNYI."

Sementara itu, Raka menemukan seekor tikus mati di depan pintu rumahnya pagi itu, dengan sebuah pisau kecil tertancap di tubuh binatang malang itu.

"Ini Rafael... Dia di sini..." bisik Raka, wajahnya pucat pasi.


Keesokan Harinya

Ketiga teman itu berkumpul lagi, kali ini di sebuah tempat persembunyian yang mereka anggap aman. Tapi suasana di antara mereka semakin kacau.

"Dia main-main sama kita!" Davin berkata dengan nada tinggi, kepalanya terasa akan pecah karena stres.

"Dia tahu di mana kita tinggal. Dia tahu semua tentang kita..." Bima menambahkan, hampir menangis.

Raka menggigit bibirnya, tangannya terkepal di atas meja. "Kita nggak bisa terus-terusan kayak gini. Kalau kita nggak ngelakuin sesuatu..."

Davin memotongnya. "Dia bakal bunuh kita satu per satu, kan? Gue tahu itu. Tapi kalau kita ambil langkah salah, dia bakal menang."

Hening kembali mengisi ruangan.

Mereka semua tahu Rafael sedang bermain dengan mereka, memperpanjang ketakutan mereka sebelum akhirnya menyerang.

Tapi pertanyaannya adalah: siapa yang akan menjadi korban berikutnya?

Di Balik Bayangan DendamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang